Transit -Taipei Series part III

Juni 2018

Pembicaraan berlangsung dengan hangat. Lebih didominasi oleh saya yang banyak bertanya, mulai dari pengalaman kerja di negeri Pulau Formosa, kosa kata- kosa kata dasar sehari-hari, moda angkutan, dan lain sebagainya. Si Masnya juga cukup welcome dan antusias menjelaskan. Kami berdua bersama sampai imigrasi dan dengan baiknya dia ngasih saya kartu transpor dan belanja, semacam emoney, jadi saya tidak usah repot ketika bepergian. Sayangnya, sehari setelahnya saya coba hubungi nomornya, namun tidak terdeteksi adanya wa, line, maupun wechat.

Ada satu kejadian yang menarik dan hmm agak menyedihkan. Penerbangan saya harus transit di Hongkong yang mana meskipun saya bakal menaiki pesawat sama tapi tetap harus turun, membawa barang yang ada di kabin, melewati imigrasi yang agak lebih ketat daripada di Taipei, dan kembali lagi ke si besi terbang. Dengan waktu transit yang hanya sekitar 30 menit dan jarak ke imigrasi dan pindah gate yang jauh dan rumit seharusnya tidak menjadi kendala bagi orang yang terbiasa. Saya menyadari informasi gate dan waktu keberangkatan memang harus mencari sendiri di papan informasi yang update setiap saat. Namun, setelah saya berhasil duduk kembali di kursi semula dan sampai lepas landas, saya tidak menemukan ibu-ibu muda di samping saya yang seharusnya juga ikut terbang kembali. Teman sebelahnya lagi (yang sedari awal terlihat akrab dengan si ibu yang menghilang) bingung dan tidak tahu berbuat apa. "Kami berdua memang bareng terus tadi, terus saya nyasar dan diantar petugas," ungkapnya. Si Mas di sebelah saya hanya berkata dengan nada datar ke saya, "Lha kenapa tadi ngga nanya saya sebelum turun kan saya bisa arahkan. Sepertinya si Ibu orang baru tapi ngga mau nanya.". Mmm saya cuma bisa menerka-nerka apa yang bisa dialami si Ibu malang sekarang.

transit

Agak menyedihkan melihat bangsa sendiri yang masih jauh tertinggal. Agak miris juga dengan para pengais rezeki di tanah asing ini yang tidak berbekal apa-apa kecuali tenaga kasar. Tidak bermaksud mendiskreditkan para TKI. Bahkan merasa kasihan. Harusnya ada sistem pembinaan yang lebih baik. Mungkin minimalnya mampu berbahasa. Sehingga Indonesia tidak direndahkan di negara orang. Satu hal lagi yang terlihat adalah budaya antri yang masih sangat mahal bagi kita. Malu rasanya melihat sesuku bangsa kita menyerobot antrian di negeri orang. Dan saya seakan ngga bisa berbuat apa-apa.

Yap, perlu banget adanya pendidikan atau semacam training SDM buat mereka-mereka. Saya tidak tahu bagaimana sekarang alur seorang TKI mulai dari mendaftar sampai dapat kerja di negera rantau tujuan. Bagaimana para agen mendidik dan membekali mereka. Yang pasti, berikanlah yang terbaik bagi mereka karena mereka bagian dari representasi Indonesia. Bahkan sempat digadang-dagang sebagai pahlawan devisa. Kan miris, seorang pahlawan devisa kebingungan di negara rantau dan tertinggal pesawat. Ya ini baru satu kasus kecil yang terjadi di depan mata. Bagaimana dengan mereka yang kabur dari tempat kerja? Mendapat tindakan yang tidak semestinya dari atasan? bahkan yang terjerembab dalam perdagangan manusia?

bersambung ....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part I

CLIMB

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part II