Besi Terbang -Taipei Series part II
Juni 2018
Malam itu sudah direncanakan untuk tidak tidur. Bukan suatu hal yang biasa bagi saya yang mengharapkan segala sesuatu berjalan teratur, termasuk juga urusan tidur. Alhamdulillah ada dua kawan yang sangat berbaik hati menemani melek. Dan untungnya jarak kost ke damri hanya beberapa meter sehingga saya tidak harus jalan jauh jam 2 dini hari ke damri demi mendapatkan jadwal paling pagi mengejar si besi terbang.
Singkat cerita semua berjalan lancar dan beberapa menit setelah lepas landas, saya langsung pulas tertidur. Tidak peduli orang-orang di samping kanan kiri yang sedang asik ngobrol. Pun tidak peduli untuk menikmati bahwa ini adalah penerbangan perdana saya keluar nusantara. Ketika mata sudah tidak bisa berkompromi, yang ada hanya gelap dan kesadaran yang mulai timbul tenggelam.
Mata agak terpaksa terbuka dan saya kembali menemukan kesadaran ketika si mbak berseragam merah menawarkan makan. Akhirnya hak perut datang juga. Makanlah saya dengan cita rasa yang hambar dan tanpa banyak mencecap, entah karena faktor psikologis atau memang hambar apa adanya. Satu yang membuat bangga adalah adanya logo halal MUI dalam box makan, yang ternyata tidak saya jumpai ketika perjalanan pulang. Bersyukurnya pilihan menunya tidak jauh dari ayam dan mi, tanpa ada pilihan pork atau lard.
Saat itu pula saya baru berusaha berkontak dengan orang samping kursi. Orang jawa tengah yang sudah 10an tahun merantau ke negeri china bukan daratan. Bahasa mandarinnya pun terlihat fasih dan lancar untuk ukuran imigran. Bekerja sebagai buruh pabrik di negeri orang, meninggalkan keluarga, menjemput rizki dengan berbagai tantangan. Dan saya lihat sekeliling memang ternyata banyak pekerja atau migran Indonesia yang kembali merantau setelah menikmati idul fitri.
Berbicara tentang gaji, lumayan menggiurkan untuk ukuran gaji karyawan pabrik jika dibandingkan di Indonesia. Namun, setelah dipotong pajak, setoran ke agen tiap bulan, dan biaya hidup, plus tiket pulang pergi yang tidak murah, akhirnya pendapatannya pun tidak sefantastis angan-angan kerja di luar negeri. "Ya, semuanya disyukuri Mas," tuturnya. Saya sangat mengiyakan.
Obrolan pun jadi menarik bagi saya. Mengulik kehidupan migran Indonesia di luar negeri. Lebih banyak duka yang dia ceritakan. Meskipun akan banyak sanjungan yang sampai ke telinganya ketika pulang kampung nanti. Salah satunya yang membuat sedih ketika dia bilang "Saya sama dua teman mau izin sholat idh aja ngga boleh Mas, pun meski setengah hari ngga boleh. Ya sudah saya pindah cari perusahaan lain." Jleb. Betapa menetap di negeri sendiri dan dekat dengan keluarga adalah sesuatu yang harus sangat disyukuri.
Bersambung...
Malam itu sudah direncanakan untuk tidak tidur. Bukan suatu hal yang biasa bagi saya yang mengharapkan segala sesuatu berjalan teratur, termasuk juga urusan tidur. Alhamdulillah ada dua kawan yang sangat berbaik hati menemani melek. Dan untungnya jarak kost ke damri hanya beberapa meter sehingga saya tidak harus jalan jauh jam 2 dini hari ke damri demi mendapatkan jadwal paling pagi mengejar si besi terbang.
Singkat cerita semua berjalan lancar dan beberapa menit setelah lepas landas, saya langsung pulas tertidur. Tidak peduli orang-orang di samping kanan kiri yang sedang asik ngobrol. Pun tidak peduli untuk menikmati bahwa ini adalah penerbangan perdana saya keluar nusantara. Ketika mata sudah tidak bisa berkompromi, yang ada hanya gelap dan kesadaran yang mulai timbul tenggelam.
Mata agak terpaksa terbuka dan saya kembali menemukan kesadaran ketika si mbak berseragam merah menawarkan makan. Akhirnya hak perut datang juga. Makanlah saya dengan cita rasa yang hambar dan tanpa banyak mencecap, entah karena faktor psikologis atau memang hambar apa adanya. Satu yang membuat bangga adalah adanya logo halal MUI dalam box makan, yang ternyata tidak saya jumpai ketika perjalanan pulang. Bersyukurnya pilihan menunya tidak jauh dari ayam dan mi, tanpa ada pilihan pork atau lard.
Saat itu pula saya baru berusaha berkontak dengan orang samping kursi. Orang jawa tengah yang sudah 10an tahun merantau ke negeri china bukan daratan. Bahasa mandarinnya pun terlihat fasih dan lancar untuk ukuran imigran. Bekerja sebagai buruh pabrik di negeri orang, meninggalkan keluarga, menjemput rizki dengan berbagai tantangan. Dan saya lihat sekeliling memang ternyata banyak pekerja atau migran Indonesia yang kembali merantau setelah menikmati idul fitri.
Berbicara tentang gaji, lumayan menggiurkan untuk ukuran gaji karyawan pabrik jika dibandingkan di Indonesia. Namun, setelah dipotong pajak, setoran ke agen tiap bulan, dan biaya hidup, plus tiket pulang pergi yang tidak murah, akhirnya pendapatannya pun tidak sefantastis angan-angan kerja di luar negeri. "Ya, semuanya disyukuri Mas," tuturnya. Saya sangat mengiyakan.
Obrolan pun jadi menarik bagi saya. Mengulik kehidupan migran Indonesia di luar negeri. Lebih banyak duka yang dia ceritakan. Meskipun akan banyak sanjungan yang sampai ke telinganya ketika pulang kampung nanti. Salah satunya yang membuat sedih ketika dia bilang "Saya sama dua teman mau izin sholat idh aja ngga boleh Mas, pun meski setengah hari ngga boleh. Ya sudah saya pindah cari perusahaan lain." Jleb. Betapa menetap di negeri sendiri dan dekat dengan keluarga adalah sesuatu yang harus sangat disyukuri.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar