Jejak langkah Sabtu-Minggu
27 April 2014
Assalamu’alaikum Duha, aku tau pasti kamu sekarang sedang menikmati
hangatnya kebersamaan dengan keluarga kecilmu. Minggu ini pasti menjadi pekan
yang istimewa buatmu seperti minggu-minggu lainnya. Ohnya, hampir lupa untuk
mengucapkannya. Ketika kau baca tulisan ini usiamu telah mencapai 45 tahun. Ini
aku, dirimu ketika 24 tahun lalu. Yap, aku ingin bercerita tentang perjalananku
2 hari ini. perjalanan yang membuatku menuliskan ini untukmu. Hay, kau pasti
tersenyum sendiri membaca tulisan ini. Atau, ketika kau seharusnya membaca
tulisan ini, aku telah menghadap-Nya? Yap, itu diluar kuasaku. Tapi aku hanya
ingin membuatmu menoleh sedikit ke belakang, mengingat sedikit tentang 2 hari
yang aku lewati ini.
Sabtu kemarin, 26
April 2014, tanpa kusangka telah membuat seluruh tubuhku meminta haknya untuk
beristirahat. Kamu masih ingat? Sabtu
kemarin aku menempuh perjalanan Jogja-Wonogiri? Yap, perjalanan bolak-balik
yang memakan waktu kurang lebih 8 jam dan otomatis membuat ototku lumayan
pegal. Oke, tapi itu point yang ingin kusampaikan. Sabtu kemarin aku
dipertemukan kembali dengan mereka. Diizinkan kembali bertegur sapa dalam
hangatnya kekeluargaan mereka. Siapa mereka? Mereka adalah warga Ngluwur, Kepuh
Sari, Manyaran, Wonogiri. Mereka yang telah mengganggap kami (aku dan temanku)
seperti keluarga sendiri. Mereka masih ingat jelas muka kami, asal kami, dll.
Mereka yang masih merindukan kabar dari kami. Siapa mereka? Mereka adalah
orang-orang yang berjumpa dengan kami selama 3 hari di April 2013. Sekarang,
setelah setahun lebih lamanya kami “menghilang”, mereka masih mengingat dengan
jelas siapa kami. Masih menganggap kami keluarga dan saudara dekat mereka.
Masih berharap kedatangan kami kembali kerumah mereka. Hanya karena 3 hari itu.
Ya, 3 hari yang amat memupuk kekeluargaan antara kami. 3 hari di setahun lalu
yang amat berkesan bagi mereka dan bagi kami.
Ngluwur, sebuah dusun
di salah satu puncak pengunungan selatan jawa. Sebuah dusun yang diapit
tebing-tebing eksotis. Sebuah dusun di perbatasan DIY – Jawa Tengah yang hampir
tak pernah terjamah oleh mahasiswa seperti kami. Hay Duh? masih membaca ceritaku ini kan? Aku tau kau sedang asyik
bercanda dengan keluargamu, tapi luangkanlah sejenak membaca cerita ini. Aku hanya ingin kau kembali menelusuri
memorimu ke belakang. Perlu kau tahu, dari mereka aku belajar banyak tentang
kesederhanaan. Tentang bahagia yang sederhana. Tentang cinta kasih yang
sederhana. Dan tentunya tentang hidup yang harus dilalui dengan sederhana. Dan kau masih ingat? Sejak sabtu kemarin
aku memimpikan kau yang telah membangun rumah khas jawa seperti rumah mereka.
Dengan bahan mayoritas kayu, dengan kesederhanaan desain, dengan kesederhaan
filosofi. Dan aku bisa membayangkan sekarang kau sedang berteduh hangat di
rumah yang aku bayangkan ini. kau masih sesekali mengunjungi mereka kan? Aku
tahu kau akan menepati niatku untuk sering mengunjungi mereka.
Hay kau mau kemana? Ceritaku belum selesai. Berikan sedikit lagi waktu
untuk ku bercerita. Hari ini aku benar-benar
menyukseskan salah satu hobiku dan hobimu. Apalagi kalau bukan jalan-jalan.
Bersama seorang sahabat, aku menyusuri Daerah Kulon Progo mencari informasi
tentang pangan lokal daerah ini. Yap, sebuah proyek dosen telah mengantarkanku
sampai pada hari ini. Pangan lokal yang semakin ditinggalkan masyarakat dan
semakin susah dicari. Miris, kekayaan budaya sendiri yang makin ditinggalkan
dan budaya lain diagung agungkan. Pangan lokal yang penuh kearifan lokal pun
dipandang sebelah mata. Itulah yang membuatku hari ini menulusuri salah satu
panganan lokal yang masih tertinggal. Gebleg. Apakah di jamanmu kini masih ada gebleg kulonprogo?Oke, berawal
dari survei, hari ini aku pun mengenal pangan lokal lain. Tak segan-segan aku
pun membeli beberapa untuk sarapan pagi ini. Ada pecel, gatot, growol, gebleg, tempe
bengok, dan semacam food bar kacang kedelai yang sekarang aku sudah lupa
namanya. Dan sejak saat ini, aku ingin, dengan segenap yang aku bisa, untuk
bangga mempunyai kuliner lokal yang beragam dan tak ada lainnya. Kau masih sering membeli tiwul atau getuk kah?
Apakah keluargamu kau kenalkan dengan kearifan lokal tersebut?
Sekali mendayung, dua
tiga pulau terlampaui. Menyusuri Kulon Progo, selain untuk survei panganan
lokal, kami juga memenuhi undangan salah satu kawan untuk mengisi sebuah acara
pemberdayaan masyarakat. Bertempat di Dusun Bojong, sebuah daerah yang cukup
jauh dengan kota, sebuah daerah yang memerlukan dorongan untuk maju, dan sebuah
daerah yang baru aku ketahui letaknya. Hmm... menyusuri daerah persawahan,
dengan para warga yang sedang memanen padi, dengan banyaknya sepeda ontel yang
bersandar di tegalan sawah. Yep, inilah Indonesiaku.
Berbicara di depan
warga yang belum aku kenal sudah menjadi hal yang cukup biasa. Melihat raut
muka beberapa warga yang antusias menjadi hal menyenangkan. Menyenangkan karena
dari wajah-wajah mereka lah lahir generasiku, dan aku sekarang mencoba bisa
sedikit bermanfaat buat mereka. Mengenalkan dan mencontohkan pengembangan
ekonomi berbasis potensi lokal menjadi hal yang aku sampaikan hari ini. Hmm...
kalo mau berbicara sok bijak, aku cuma mau ngomong. Karena Tuhan telah
menciptakan kita untuk hidup berdampingan dengan lingkungan kita, maka
sejatinya potensi lokal adalah apa yang kita harapkan dari Tuhan untuk hidup kita di
dunia ini.
Hay Duh, masih ingat ngga dengan apa yang sempat terpikir olehku saat
ini? tentang pikiran menjadi seorang kepala dusun? Hehe. Kepala dusun yang
membangun dusunnya sebagai pilot project dengan serangkaian program. Ide
tentang kemandirian masyarakat melalui jimpitan zakat, pengembangan eko-agro
wisata yang syariah, dll yang sekarang muncul di otak ku.
Bagaimana dirimu? Apakah kamu sekarang telah menjadi kepala dukuh?
Sekian dari ku,
dirimu di usia 21 tahun. Untukmu, semakin dan teruslah berusaha bermanfaat
untuk sesama.
Komentar
Posting Komentar