Dua Hari Eksplor Semarang

Ternyata eksplorasi Semarang di akhir pekan (Sabtu-Ahad) lumayan cukup memuaskan. Begitulah sedikit kesimpulan saya yang sekitar dua minggu lalu memutuskan mengunjungi Ibu Kota Jawa Tengah ini. Sebagai warga asli Jawa Tengah, saya memang baru beberapa kali mengunjungi Semarang dan pastinya ada beberapa tempat yang belum saya kunjungi, sebut saja salah satunya adalah wisata mainstream Lawang Sewu hehe.

Sampai di Stasiun Tawang pada Sabtu sekitar pukul 10.00 dan karena teman saya dari Boyolali diperkirakan baru akan sampai pukul 12.00, akhirnya saya memutuskan berteduh ke Masjid Baiturrahman di area Simpang Lima. Menunggu sembari merebahkan badan.

Dhuhur datang dan setelah sholat berjamaah, teman saya sampai juga. Bercakap-cakap sebentar sembari melempar pertanyaan dan membagikan kabar karena beberapa tahun tidak bertemu, sekitar pukul 13.00 pun kami memutuskan ke Lawang Sewu. Oya, karena sebenarnya agenda ke Semarang ini agak mendadak, jadi kami tidak terlalu kaku dengan itinerary yang kami buat dadakan juga, jadi fleksibel saja.

Lawang Sewu

Nama tempat ini memang sudah tidak asing lagi di telinga. Letaknya di pusat kota sehingga sangat mudah dijangkau dan sepertinya tempat ini selalu ramai karena menjadi spot wisata wajib bagi wisatawan. Awalnya teman saya berinisiatif menyewa tour guide, tapi karena kami cuma berdua menurut saya lebih baik kami saja yang pro-aktif membaca segala informasi-informasi tentang si Lawang Sewu ini.

Gedung ini tidak lain adalah salah satu warisan peninggalan kolonial, tepatnya bekas kantor sejenis perusahaan kereta api di masa Hindia Belanda. Jadi, memasuki gedung ini tak kalah menariknya dengan mengunjungi museum kereta api. Sejarah perkereta-apian, beberapa miniatur lokomotif, foto-foto stasiun jaman dulu, jalur-jalur kereta api yang sudah tidak sama lagi dengan era sekarang, dan masih banyak lagi pengetahuan yang bisa digali disini.

Namun kami tidaklah serajin itu sampai harus membaca dan meresapi semua informasi yang terpampang di gedung Lawang Sewu ini. Akhirnya, sesi foto pun menjadi agenda wajib yang tidak bisa dilewatkan. Dengan aksitektur jaman dulu, gedung ini masih kokoh dengan pintu dan jendela yang tersusun apik. Saya sangat suka dengan kesimetrisan yang ada. Pintu demi pintu seakan tidak berujung menjadi spot menarik untuk foto. Pun jendela-jendela besar dari kayu membuat si Lawang Sewu ini mempunyai kesan megah dengan kekhasannya tersendiri.

Salah satu sudut Lawang Sewu (dok. pribadi)

Lawang Sewu (dok. pribadi)


Kalau boleh saran sih, koleksi informasi bisa lebih diperbanyak atau diperbaharui dengan memasukan unsur teknologi, misalnya dibuat bioskop 3D yang memuat video kereta api, games dan semacamnya. Pun masih banyak ruang-ruang yang kosong yang bisa dijadikan area “wahana” tersebut.

Jam menunjukkan pukul 15.00 lebih dan kami pun memutuskan untuk makan dan istirahat sejenak di guest house yang beruntungnya kami memperoleh penginapan di dalam kota. Selain akses yang mudah dengan harga yang lumayan terjangkau (119k per malam untuk 2 orang) dengan fasilitas AC, air hangat, TV, dan wifi.

Kota Lama

Kalau di Jakarta ada kota tua, maka di Semarang ada kota lama. Layaknya Kota Tua Jakarta, kawasan Kota Lama Semarang ini juga merupakan komplek kota Semarang era lampau dengan arsitektur bangunan-bangunannya yang jadul serta area yang nyaman untuk para turis dan pejalan kaki. Banyak spot menarik di kota lama ini, baik sekedar untuk bersantai, berfoto, berkuliner, maupun sekedar menikmati suasana tempo doeloe.

Kami sampai sekitar pukul 17.00 karena kalau siang maka harus bergelut dengan panas Semarang yang menyengat. Lumayan ramai di senja hari sabtu ini tapi masih manusiawi. Kota lama ini pun terlihat bersih dan rapih tanpa ada semerbak bau got dan bau kotoran.

Senja di Kota Lama Semarang (dok. pribadi)

Seperti di mana ya ... (dok. pribadi)

Gang-gang di Kota Lama Semarang (dok. pribadi)

Temaram (dok. pribadi)


Kalau mau membandingkan dengan Kota Tua Jakarta, si Kota Lama Semarang ini menurut saya lebih bersih dan rapih. Hampir tidak ditemukan para pedagang asongan yang menggelar dagangannya di trotoar karena ada lokasi tersendiri untuk stand kuliner dan kerajinan. Selain itu, saya rasa di kota lama ini juga lebih banyak jalan yang bisa ditelusuri karena mungkin kawasannya yang lebih luas. Namun, tidak seperti di Kota Tua Jakarta di mana pengunjung dimanjakan dengan pilihan beberapa museum, di Kota Lama Semarang ini saya hanya tahu ada museum 3D.

Kami menghabiskan waktu di kota lama sampai sekitar pukul 19.00 dan beralih ke Pasar Semawis yang ternyata letaknya tidak jauh dari kota lama.

Pasar Semawis

Ini semacam night marketnya Semarang. Saya kurang tahu apakah ada pasar kuliner malam sejenis di Semarang. Area pasar ini tak lain adalah jalan yang disulap menjadi aneka stand kuliner sepanjang kira-kira 1 km. Sepertinya ini masuk kawasan pecinannya Semarang. Layaknya Glodok di Jakarta atau Surya Kencana di Bogor.

Banyak pilihan kuliner yang dijajakan, mulai dari camilan, makanan berat, sampai minuman tempo dulu dan kekinian. Saya coba cari kuliner khas Semarang selain si lumpia dan tahu gimbal yang sudah sangat familiar. Dan ketemulah kudapan (saya lupa nama pastinya) berupa pisang kepok yang dipenyet, dipanggang dengan isian beberapa rasa. Yhaa, seenggaknya jadi tahu kalau Semarang punya kuliner satu ini. Makanan lainnya umumnya seperti kebanyakan di tempat lain, mulai dari gudeg, ronde, aneka gorengan, seafood, sate, dan makanan minuman kekinian.

Gapura depan Pasar Semawis (dok. pribadi)

Aneka stand di Pasar Semawis (dok. pribadi)

salah satu stand kuliner Pasar Semawis (dok. pribadi)


Satu hal yang perlu diperhatikan ketika membeli makanan di pasar malam ini adalah kehalalan makanan. Yup, karena beberapa stand menjajakan olahan babi. Entah sate babi maupun makanan berbahan babi lainnya. Jadi, bagi yang muslim wajib cek dulu ya.

Sekitar 20.00 lebih kami sudah kembali ke penginapan. Namun, karena masih sore akhirnya kami memutuskan ke sebuah mall yang tak jauh dari penginapan dan bisa diakses dengan jalan kaki. Hanya sekedar jalan-jalan dan kembali lagi ke penginapan sekitar pukul 10.00.

Lumpia Gang Lombok

Dari beberapa referensi, lumpia ini paling banyak direkomendasikan. Pagi pukul 08.00 lebih kami sampai di tempat si lumpia yang ternyata lokasinya tidak jauh dari Pasar Semawis yang tadi malam kami kunjungi. Tempatnya masih sepi. Belum ramai sampai anti panjang seperti yang kami baca di beberapa artikel. Tapi apa daya, ketika kami memesan ternyata antrian pesanan telah mengular sehingga kami diharuskan menunggu 1,5 jam.

Lumpia Gang Lombok (travel.kompas.com)

Lumpia Gang Lombok (siklimis.com)


Setelah berdiskusi, akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri perjuangan menunggu untuk menikmati seporsi lumpia terkenal ini dan lebih memilih untuk memanfaatkan waktu yang terbatas untuk mengunjungi tempat lain. Kami pun melesat menuju Sam Poo Kong.

Sebenarnya kami di malam sebelumnya kami sudah mewacanakan untuk ber-Sunday morning ria Simpang Lima. Tapi apa daya, wacana hanya wacana karena kasur lebih menggoda.

Sam Poo Kong

Sama halnya seperti Lawang Sewu, Sam Poo Kong juga obyek wisata yang wajib dikunjungi ketika ke Semarang. Klenteng bernuansa merah ini dipercaya sebagai tempat mendaratnya Laksamana Cheng Ho ketika berkunjung ke Pulau Jawa. Setelah mengalami renovasi akhirnya jadilah bangunan Sam Poo Kong seperti sekarang. Ada beberapa bangunan atau kuil lengkap beserta patung dan kelengkapan ibadah lainnya. Kami hanya membeli tiket reguler yang hanya bisa puas berpanas-panas di halaman area kuil-kuil itu tanpa bisa memasukinya layaknya para wisatawan yang membayar lebih demi bisa melihat lebih dekat kuil demi kuil sembari mendengarkan penjelasan si bapak tour guide.

Dan lagi-lagi, hal yang menyenangkan dari berwisata di Sam Poo Kong adalah tingkat keramaian yang masih manusiawi, bahkan terbilang agak sepi meskipun akhir pecan. Jadi, benar-benar bisa puas menikmati dan berteduh sejenak di area bangunan utama yang boleh dimasuki si pengguna tiket regular seperti kami.

Deretan kuil di area Sam Poo Kong (dok. pribadi)

Sam Poo Kong (dok. pribadi)


Ternyata waktu baru menunjukkan pukul 09.30 meskipun panas mulai menyengat. Sebenarnya tidak ada agenda pasti di hari kedua selain Sam Poo Kong dan membeli oleh-oleh. Namun, tiba-tiba teman saya tercetus ide untuk ke Umbul Sidomukti yang jarak tempuhnya lumayan jauh. Karena saya belum pernah kesana dan perhitungan waktunya masih cukup longgar, akhirnya saya meng-iya-kan ajakannya.

Sekedar informasi, di samping Sam Poo Kong sebenarnya ada kawasan semacam kampung warna layaknya Kampung Jodipan di Malang, tapi kami lebih memilih melewatkan kampung warna ini demi mencapai Umbul Sidomukti tepat waktu.

Umbul Sidomukti

Merupakan umbul atau mata air di daerah pegunungan selatan Semarang. Bisa ditempuh sekitar 1 jam perjalanan dengan motor dari Semarang ke arah Ungaran. Udaranya masih segar dan dengan suhu dingin khas pegunungan. Tidak jauh dari obyek wisata ini juga ada kawasan Bandungan. Mungkin kalau Jogja punya Kaliurang, Jakarta dengan Puncaknya, Purwokerto ada Baturaden, maka Semarang juga punya Bandungan. Ada beberapa spot di Bandungan, misalnya taman Celosia dan Candi Gedong Songo. Tapi kami tidak sampai sana, hanya sampai Umbul Sidomukti.

Umbul Sidomukti (dok. pribadi)

Kawasan Umbul Sidomukti (dok. pribadi)


Tidak cuma umbul dengan kolam di mana wisatawan bisa berendam dan berenang, di komplek ini juga ada beberapa wahana out bond seperti flying fox dan jembatan gantung. Dari Umbul Sidomukti dapat dilihat pemandangan Kabupaten Semarang dengan beberapa industrinya. Tempat ini cocok untuk bersantai, apalagi ditemani kopi karena disini ada pondok kopi yang kebun kopinya berada langsung di depan mata. Tidak menyesal mengunjungi tempat ini.

Sekitar pukul 13.00 dan rencananya kami akan langsung kembali ke Kota Semarang. Namun, salah satu teman ada yang merekomendasikan untuk mengunjungi Dusun Sumilir. Karena ternyata Dusun Sumilir tidak terlalu jauh dari Sidomukti dan kami sudah terlanjur jauh dari Kota Semarang, akhirnya kami putuskan untuk mampir ke tempat itu.

Dusun Sumilir

Sebelumnya saya tidak punya ekspektasi apa-apa tentang “dusun” satu ini. Bahkan saya tidak sempat browsing tentang apa itu Dusun Sumilir. Tempat ini terbilang lokasi wisata baru di Semarang. Letaknya di kiri jalan sebelum Terminal Bawen kalau dari arah Jogja. Karena arsitekturnya yang unik dan parkirnya yang penuh dengan bis, mobil pribadi dan motor, jadi tidak terlalu sulit untuk menemukannya.

Dusun Sumilir tampak depan (dok. pribadi)

Salah satu interior di sudut Dusun Semilir (dok. pribadi)

Jalan Kuliner di dalam Dusun Sumilir (dok. pribadi)


Dusun ini bukan lah layaknya dusun di perkampungan pinggir sawah dengan gazebo tempat duduk menikmati segelas es jeruk di siang terik. Dusun ini merupakan bangunan dengan konsep yang unik karena banyak memadukan unsur alam seperti bambu dan rotan, dan di dalamnya berisi aneka kerajinan, baik ukiran, batik, maupun tembikar; oleh-oleh, serta aneka pilihan kuliner. Tempat ini sepertinya masih dalam tahap pembangunan meskipun bangunan utamanya sudah jadi. Ini menjadi salah satu pilihan tempat wisata baru di Semarang yang wajib dikunjungi. Secara umum, saya lebih terkesan dengan arsitektur bangunan serta interiornya, dan konsep jual beli yang terjadi di Dusun Sumilir ini karena banyak sekali ukm-ukm yang memajang karya-karya terbaiknya, baik berupa seni maupun kuliner.

Ternyata waktu menunjukkan pukul 14.00 lebih sedangkan kami harus balik ke Kota Semarang untuk beli oleh-oleh dan makan, pun berburu waktu dengan bis saya jam 16.00.

Secara keseluruhan, Semarang merupakan kota yang menyenangkan untuk dikunjungi, meskipun saya tidak tahu jika harus menggunakan transportasi umum di dalam kota karena selama dua hari ini saya menggunakan motor. Untuk harga tiket-tiket masuk wisata pun terjangkau dalam kisaran 10.000-20.000. Selain itu, tempat wisata pun tidak terlalu ramai dan masih enak dan nyaman untuk dinikmati.
Sekian. Salam







  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part I

CLIMB

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part II