Museum Multatuli: Melihat Kembali Karya Anti-Kolonialisme


Museum ini terletak di Rangkas Bitung, sebuah daerah di Banten yang (saya baru tahu) ternyata masih bisa diakses dengan KRL. Lebih tepatnya Stasiun Rangkas Bitung menjadi pemberhentian terakhir rute KRL Tanah Abang – Rangkas Bitung dengan lama perjalanan sekitar 1,5 – 2 jam. Letaknya cukup mudah dijangkau karena berada di pusat kota, dekat dengan alun-alun, masjid besar, dan komplek pemerintahan Rangkas Bitung. Dari Stasiun Rangkas Bitung pun jarangnya tidak jauh. Sekitar 1 km sehingga dapat ditempuh dengan jalan kaki, angkot, maupun ojek. Jadi, dapat diperkirakan sendiri alokasi waktunya jika mau mengunjungi Museum Multatuli ini karena jika salah merencanakan waktu, bisa-bisa hanya membuang waktu di perjalanan.

Ilustrasi Multatuli di samping museum (dok. pribadi)

Museum Multatuli tampak depan (dok. pribadi)

Awalnya saya bingung kenapa si Museum Multatuli ini bisa berada di Rangkas Bitung. Dan ternyata Multatuli memang sejak awal bekerja pada pemerintahan Belanda di Lebak sebagai asisten residen. Apa itu asisten residen? Di salah satu ruang dijelaskan tentang tingkatan pangkat dalam pemerintahan era kolonial, mulai dari gubernur jenderal, residen, asisten residen, dan seterusnya ke tingkat bawah. Namun, Multatuli bukan familiar karena perannya dalam pemerintahan era kolonial, melainkan karena karya-karyanya yang menggelitik pemerintahan Belanda. Saya suka dengan tulisan surat Multatuli yang ditujukkan pada Raja Belanja Willem III, yang berbunyi:

“Kepada Anda saya kan bertanya dengan penuh kenyakinan: apakah kerajaan Anda ingin membuat lebih dari tiga puluh juta rakyat di Hindia Timur ditindas dan dihisap atas nama Anda?”

Kutipan surat Multatuli untuk Raja Belanda Willem III (dok. pribadi)

Tidak hanya itu, ketika pertama kali memasuki museum maka seketika akan disambut dengan kutipan Multatuli lengkap dengan mozaik wajahnya, yang berbunyi: “Tugas Manusia Adalah Menjadi Manusia”. Agak menohok memang. Tapi saya sempat menahan tawa ketika ada seorang ibu yang dengan lugunya berkata “ini apa ya maksudnya” dengan menunjukkan muka berpikir wkwk. Tapi si Ibu akhirnya tak mau ambil pusing dan lebih mementingkan berfoto di depan kutipan itu.

Tugas manusia adalah menjadi manusia (dok. pribadi)

Meskipun tak besar, malah terbilang kecil untuk ukuran Museum, namun banyak informasi yang bisa diperoleh. Terdapat ruang yang menampilkan peta tanam paksa di Jawa, mulai dari daerah Banten sampai Banyuwangi di ujung Timur. Masing-masing dengan komoditasnya tersendiri. Ada pula semacam awetan beberapa rempah andalan yang dijadikan komoditas yang paling dicari dari penjajahan, yaitu lada, pala, cengkeh, dan kayu manis. Dan tidak lupa, kopi sebagai salah satu komoditas hasil tanam paksa yang juga masih sangat digemari sampai sekarang.

Aneka awetan rempah di era penjajahan (dok. pribadi)

Bercerita tentang buku karya Multatuli sendiri saya hanya tahu Max Havelaar yang banyak menyindir pemerintah Belanda. Di dalam museum ini pun ada satu ruang yang menceritakan isi Max Havelaar tentang keadaan Lebak pada masa dia menjabat sebagai asisten residen. Selain itu, terdapat pula koleksi Max Havelaar asli yang didatangkan dari Belanda, serta video pendek tentang Multatuli.
Selain memajang informasi khusus berkaitan dengan Multatuli, museum ini juga menampilkan beberapa hal menarik lain, misalnya ilustrasi beberapa tokoh dengan kutipannya masing-masing tentang Multatuli, seperti Pramoedya Ananta Toer, Soekarto, R.A. Kartini, dan Jose Rizal. Kutipan Pram berbunyi:

“Seorang politikus yang tidak pernah mengenal Multatuli bisa menjadi politikus yang kejam, pertama karena dia tidak kenal sejarah Indonesia dan kedua karena dia tidak mengenal humanisme modern”.

Max Havelaar dalam beberapa bahasa (dok. pribadi)


Kata beberapa tokoh tentang Multatuli (dok. pribadi)


Oya, awalnya saya mengira kalau Multatuli alias Douwes Dekker adalah orang yang sama dengan Douwes Dekker anggota tiga serangkai pendiri Indisce Partij. Ternyata (mengutip dari kumparan.com), Eduard Doewes Dekker alias Multatuli ini meninggal pada 1887. Sedangkan si Douwes Dekker tiga serangkai namanya adalah Ernest Douwes Dekker, cicit dari kemenakan Eduard Douwes Dekker. Tiga serangkai sendiri baru ada pada 1912.

Di Museum ini juga terdapat ruang yang menampilkan sejarah pergerakan Banten dalam melawan penjajah serta sejarah Lebak dalam bentuk timeline yang apik dengan kesan modern yang dilengkapi dengan video .

Timeline sejarah Lebak (dok. pribadi)

Pergerakan rakyat Banten di era penjajahan (dok. pribadi)

Karena lokasinya yang di pusat kota, tidak ada salahnya sekalian mengunjungi tempat-tempat lain, misalnya Masjid Besar Al-Araf Rangkas Bitung dan alun-alun yang bisa diakses jalan kaki. Meskipun lumayan panas, kota ini kaya akan bangunan-bangunan bergaya khas Belanda. Selain itu, penataan pusat kota nya pun masih mengikuti pola kota-kota di Jawa di mana alun-alun dikelilingi oleh kantor pemerintahan, masjid besar, dan lembaga pemasyarakatan.

Sekian tulisan kali ini. Oya, untuk masuk ke museum tidak dipungut biaya. Namun, museum ini menerapkan waktu istirahat pukul 12.00-13.00, meskipun ternyata baru dibuka kembali pukul 13.30. jadi harap bersabar jika terjebak di jam istirahat.

Sekian,
Salam,




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part I

CLIMB

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part II