Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part II
Dari postingan saya sebelum ini,
ternyata ada beberapa teman yang menanggapi, sedikit berdiskusi, sedikit
bertukar pikiran, dan sedikit memupuk pemahaman. Sebelumnya terima kasih buat
temen-temen yang udah baca tulisan saya.
Dari sedikit obrolan dengan
temen-temen, saya mendapat beberapa hal yang juga baru saya mengerti. Huh,
bingung harus mulai darimana.
Yap, saya baru ngerti bahwa ada
celah yang memisahkan antara teman-teman yang sependapat dengan saya dengan
mereka. Kebanyakan teman-teman ini
adalah orang-orang yang sedikit banyak tahu tentang nilai-nilai kesucian
tersebut saya lihat menjauh dari kelompok mereka. Orang-orang yang dari kecil
diajari nilai-nilai kesucian, orang-orang yang dibesarkan dengan
pemahaman-pemahaman terhadap nilai-nilai kesucian, orang-orang yang dalam
pendidikan formalnya pun dijejali nilai-nilai kesucian, orang-orang yang ketika
memasuki dunia perkuliahan telah terbekali pemahaman-pemahaman itu.
Di lain sisi, kelompok mereka sebagian besar beranggotakan para mereka
yang ketika masuk dunia kuliah begitu haus akan nilai-nilai kesucian. Kenapa
mereka begitu haus akan nilai-nilai kesucian? bukan kah nilai-nilai itu
seharusnya ditanamkan orang tua mereka sejak kecil? Ya, mungkin keluarga mereka
tak seberuntung keluarga teman-teman yang mulai membekali anak-anaknya dari
kecil. Mungkin pendidikan mereka tak mengajarkan tentang pemahaman-pemahaman
nilai-nilai kesucian. Mungkin… mungkin… mungkin… masih banyak kemungkinan yang
membuat mereka haus akan nilai-nilai kesucian itu sehingga dengan mudahnya
mereka tanpa sadar masuk dalam kelompok-kelompok
itu. Padahal, belajar nilai-nilai kesucian tidak sepraktis itu. Tidak hanya
dengan diskusi dan membaca berbagai buku referensi. Tidak hanya dengan belajar
ajaran-ajaran praktis dengan tentor-tentor yang kualifikasinya pun kita belum
tahu pasti.
Lebih dari itu, belajar nilai-nilai
kesucian adalah suatu proses yang panjang. Ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Ada rentetan alur yang harus dijalani. Ada masalah dan ujian tersendiri.
Kalau logikanya sih begini aja. Saya masuk UGM ngga asal masuk kan? Saya tahu
bagaimana kualitas UGM. Saya tahu prestasi dan peringkat UGM diantara
universitas lain. Dan saya melakukan segalanya jauh-jauh hari untuk dapat masuk
UGM. Mulai dari kepo-kepo sampai bekerja keras mencapai kualifikasi masuk UGM. Nah
itu hanya untuk masuk UGM yang notabennya urusan duniawi, apalagi untuk
mendapatkan pemahaman nilai-nilai kesucian yang notabennya adalah urusan
akhirat. Pastinya dibutuhkan setidaknya usaha yang lebih keras daripada untuk
mencapai urusan duniawi.
Hmm… sebenernya mau juga sih bahas tentang
masalah yang lebih prinsipil. Tapi agak kurang bijak rasanya jika saya tuliskan
disini. Yap, bagaimana pun juga mereka masih teman-teman saya. Saya adalah
bagian dari kelompok-kelompok mereka. Saya adalah bagian yang mengemban misi
mereka. Dan saya selalu dikelilingi mereka. Yap, mereka tetaplah teman saya.
Tapi, pikiran liar saya lah yang
membuat saya merasa ada yang aneh dengan sekeliling saya. Ada yang tak beres
dengan kelompok-kelompok perbincangan. Ada sesuatu yang harus diluruskan. Bukan
untuk tujuan apa-apa, tapi untuk tetap menjunjung nilai-nilai kesucian itu pada
tempatnya. Tetap suci seperti hakikatnya.
Ada yg salah, tapi kita g perlu mencari-cari kesalahan itu. Sudahlah, kita adalah kita, biar mereka seperti apa, biar saja. Yg penting mereka tetap teman, satu dalam Islam. Sisanya, biar saja kita menjadi seperti apa adanya kita dan mereka seperti apa adanya mereka... Wallahualam
BalasHapusYoi... akhirnya kamu menemukan jawaban kegalauanmu Ul :P
BalasHapusihirr, diposting juga ini duh. wkwk
BalasHapusHaha. Jadi penasaran baca kan gara2 mentionan adib di twitter.
BalasHapusYaa walo ngga nyebut, ak paham duh yg kamu maksud pihak mana. Itulah kenapa ak ngga pernah mau ikut acara2 semacam itu. Haha. Keliatan kok.
Di dalam politik, kawan atau lawan bisa berubah dalam sepersekian detik. Kotor brow