Garis Batas
Penanda. Pemberi jeda.
Menyediakan waktu untuk sekedar mengintip di satu sisi.
Menjadi pembeda antara saya dan aku. Kamu dan engkau. Dia dan beliau.
Jika dalam dunia makanan, tak asing untuk menemui istilah threshold. Langkah demi langkah ketika
hanya sekedar mencecap, merasakan, menikmati, dan akhirnya menjadi persepsi
penilaian.
Ambang batas.
Garis yang menjadi pemisah. Sering kamu berdiri tegak tak
terkalahkan. Pembeda nasib antara satu sisi dan sisi seberang. Tapi, banyak
pula kamu tampil abu-abu tidak menentu. Tidak ada definisi luar dan dalam. Tidak
ada pembeda antara suntuk dan bosan. Tidak ada batas ketika kejenuhan dan
kenikmatan bersahabat karib.
Seringkali, diri memang tidak sampai pada tingkat pengenalan
batas. Masih jauh dibawah recognation threshold.
Menjadi diri yang merasa nyaman dengan dunia sendiri. Atau, jangan-jangan
terlalu takut untuk sekedar melihat pemandangan yang menakjubkan (?) di sisi
lain?
Melihat dan melewati batas memang mudah. Berbekal paspor dan
visa, lolos dari pos imigrasi di perbatasan. Lalu, dengan mudah melihat
perbedaan yang kontras antara satu petak dunia dengan petak sebelahnya. Melompat
dari satu petak ke petak lain yang dengan sengaja tercipta demi mengukuhkan
hegemoni masing-masing petak. Melihat pola kehidupan yang sedikit berbeda antar
petak. Bahkan beberapa ada yang mengurung dan mengasingkan diri laksana petak
tak tertembus.
Bukan. Bukan itu.
Yang dibutuhkan hanya sekedar recognation threshold untuk mengenali. Tidak sampai merasakan dan menikmati. Ya, sedekat atau sejauh mana batas itu dengan diri? Kapankah kita seharusnya melewati atau terpaksa melewatinya tanpa ada pilihan lain? Apa saja yang perlu dipersiapkan?
Bukan. Bukan hanya itu.
Ia sering kali timbul dan tenggelam. Seakan mencibir diri
yang sangat tidak lihai membangun benang merah. Yang hanya bisa meneropong dari
jauh. Kapan sejatinya harus melangkah? Apakah benar bahwa diri tidak melangkahi
batas taqdir-Nya?
Komentar
Posting Komentar