Cerita Pocong
Hari gini ngomongin
pocong? Ababil banget deh !! Mungkin seperti itulah yang terlintas di benak
teman-teman sekilas membaca judul tulisan ini. Hmm, saya sendiri awalnya
berpikiran seperti itu, bahkan sampai mikir beberapa kali buat menuliskan ini.
Yap, ini adalah cerita ketika saya sedang pulang kampung di
tahun baru hijriyah lalu. udah lama memang, tapi entah mengapa saya beru
tergerak buat menuliskannya sekarang. Kepulangan yang hanya beberapa hari itu
tentunya memberikan hadiah banyak cerita, salah satunya adalah cerita pocong. Kenapa harus pocong? Bisa nggak diganti
gandarwo? Atau mungkin kuntilanak? Jawabannya adalah takdir. Yap, kuasa
Alloh SWT yang maha tahu apa yang sebenarnya terjadi di pekarangan belakang
rumah saya.
Oke, ini serius. Nggak main-main teman. Saya menceritakan
apa yang saya dengar dan lihat. Jadi, beberapa warga di lingkungan saya dalam
minggu-minggu tersebut diweruhi atau
melihat sesosok sesuatu yang mereka tafsirkan sebagai pocong. Kejadiannnya
sama. Waktunya antara maghrib dan isya’ ketika hujan turun tidak deras.
Tempatnya juga sama, di dekat sebuah pohon kelapa gading tak jauh di belakang
rumah saya. Tempatnya memang agak gelap, seperti kebanyakan kondisi desa pada
umumnya, pastinya masih banyak lahan yang masih hijau. Tapi, untuk ukuran
tempat angker, hmm menurut saya tempat itu jauh dari kriteria tempat angker.
Tapi, Wallohua’lam.
Telusur punya telusur, saya pun mengaitkan kejadian-kejadian
dahulu dan memang ada sedikit benang merah yang mengaitkan dengan kejadian
pocong ini. Sedikit memutar memori ke belakang, saya pun tahu bahwa tempat
kemunculan si pocong itu merupakan pekarangan yang salah kepemilikan. Sekali
lagi ini dari sudut pandang saya, menurut yang saya lihat dan dengar.
Pekarangan itu merupakan sepetak tanah yang oleh “orang X” diakui miliknya yang menjorok ke lahan keluarga saya. Aneh memang,
ada sepetak tanah di pojok lahan keluarga tetapi punya orang lain.
Entahlah, keluarga saya pun telah membicarakan baik-baik
tentang itu. Tentang asal usul pekarangan yang kata orang masuk dalam lahan
keluarga saya, namun pihak “orang X” selalu tak mau tahu. Hingga si “orang X”
di panggil oleh-Nya. Na’udzubillah,
sang suami dikuburkan dalam keadaan kaki ditekunk karena liang lahat yang
selalu tak muat menampung panjang si jenazah.Ketika liang lahat sudah
dipanjangkan, tetap saja tak muat. Dan beberapa tahun lalu ketika sang istri
“orang X” menyusul suaminya, Na’udzubillah jenazahnya disemayamkan dengan kaki yang terpaksa di-injak karena kakinya
yang menekuk dan susah sekali diluruskan. Wallohua’lam…
Hanya Alloh lah yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Yap, kadang-kadang hal yang dianggap tabu bisa secara nyata
terjadi di sekitar kita. Lalu, apa
gunanya saya menuliskan ini? Karena sebuah tulisan nggak dinilai mutlak
dari isinya. Namun, yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita mengambil
makna dan pelajaran untuk diri kita.
Komentar
Posting Komentar