Korban Budaya Kah?
Saya bukanlah anak dari keluarga yang terpandang. Mungkin,
sudah menjadi budaya di lingkungan saya bahwa kekayaan menjadi tolak ukur
seberapa terhormat dan terpandangnya sebuah keluarga(meskipun tidak semua orang
beranggapan begitu). Saya ambil contoh masalah rumah. Meskipun keluarga
tersebut seharinya hanya makan nasi & sayur kangkung, tapi dari luar
keluarga tersebut terlihat sejahtera karena rumahnya yang bisa dibilang mewah
untuk ukuran desa. Sekarang, saya tahu bahwa sejak dulu keluarga kecil saya
sering menjadi bahan omongan orang-orang. Mereka hanya melihat rumah keluarga saya
yang masih jadul, beberapa bilang “Buat
apa menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi kalau hanya untuk memperbaiki
rumah saja belum mampu”. Saya sendiri tak terlalu memikirkan masalah itu. Saya
sedih bukan karena keadaan keluarga saya yang memang terbatas, sebaliknya saya
miris melihat pola pikir masyarakat yang sukanya instan, tak memedulikan
pentingnya sebuah proses. Mereka dengan bangganya menjadi pegawai negeri dan
guru. Pekerjaan paling nyaman bagi
kalangan masyarakat desa. Ketika saya diterima di UGM, beberapa orang
berkomentar kepada saya, kenapa tidak di
STAN (Sekolah Tinggi Akutansi Negara) aja? Kan enak tuh entar lulus langsung
kerja & jadi PNS. Saya bingung memilih kata yang pas untuk menjawabnya.
Saya bingung kemana orientasi logika mereka. Semuanya berjalan dan seperti tak
ada yang sadar dengan hal tersebut. Entah bagaimana awalnya hingga bisa seperti
itu.
Libur 4 hari di Bulan Mei lalu saya habiskan untuk main ke
sepupu saya di Semarang. Sepupu saya ini bukanlah orang berpendidikan tinggi.
Karena sikap orang tua dan keterbatasan keluarga, Ia hanya bisa lulus SMP.
Kenyataan pahit tersebut harus diterimanya. Perasaan minder dengan teman sepergaulan
pun sempat ada. Tapi, pembicaraan dengannya kemarin membuat saya tahu bahwa dia
mempunyai pemikiran yang sama dengan saya. Orang-orang
di desa itu memang maunya yang praktis, jarang yang mau ambil resiko,
begitu katanya. Hmm, ada benarnya juga si. Sekarang, di perantauan dia sudah
berpenghasilan bersih kira-kira 2 juta per bulan. Jauh dari gaji rata-rata
teman-temannya. Tebak apa pekerjaannya?, dia berbisnis.
Begitulah kira-kira sekelumit cerita yang bagi saya layak
untuk anda tahu. Tidak semua budaya dan tradisi itu benar dan harus ditaati
dengan mutlak. Lingkungan memang mempengaruhi kita dan oleh karena itu ada
baiknya kita merantau untuk sekedar mencari lingkungan penguji. Kadang-kadang,
mencoba berpikiran berbeda dengan orang sekitar kita adalah solusi terbaik
karena tak selamanya pemikiran lingkungan kita adalah benar adanya.
Komentar
Posting Komentar