Harapan Itu Masih Ada


Dua hari ini saya lewati seakan waktu berjalan secepat kilat. Dimulai dari hari jum’at, jauh-jauh hari saya sudah mengagendakan untuk mengikuti seminar bertema kepemudaan. Setelah mendaftar, tiba-tiba saja ada kuliah tambahan yang waktunya bentrok dengan waktu seminar. Tapi, tekad saya buat seminar sepertinya mendapat skala prioritas lebih. Ketika salah satu teman saya bilang Duh, ikut kelas aja. Nggak usah bolos… tiba-tiba secara spontan saya jawab Kalo Cuma ndengerin dosen ama ngerjain tugas, anak SD juga bisa. Kita sekarang diberi kebebasan buat milih kan? Kenapa nggak kita gunain hak kita?  Kelihatannya memang agak arogan, tapi memang begitulah adanya. Saya lebih suka mendengar kata bolos, dari pada TA alias titip absen. Kenapa kita tidak menggunakan hak kita untuk bolos sebanyak 25% dari total pertemuan? Kenapa kita dengan rasa tanpa dosa malah titip absen?. Kadang-kadang saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya terlalu idealis?. Kadang-kadang saya merasa begitu berbeda pendapat kalau membicarakan masalah mencontek dan titip absen. Apakah rahasia publik(mahasiswa) ini harus ditutup-tutupi dari publik sebenarnya(masyarakat)?. Tidak heran lagi melihat teman-teman saya berangkat agak pagi karena alasan klasik yaitu belum ngerjain PR. Sebenarnya tidak tepat juga kalau dibilang ngerjain PR, karena banyak yang tidak ngerjain melainkan nyalin, jiplak, atau mencontek PR teman. Kalau generasi penerus saja sikapnya seperti ini, bagaimana nasib bangsa ini ke depan?. Memang pusing kalau mikirin masalah itu. Tapi, mau tidak mau memang mahasiswa, yang  katanya pemuda terdidik, harus memikirkannya.
Saya sulit menentukan plot tulisan saya ini, jadi mohon maaf jika alurnya ngalor ngidul. Jum’at pagi itu saya belum ngerjain PR dan memang salah saya tidak mencatat soalnya. Ketika dosen bertanya Ada yang belum ngerjain PR?. Hanya tidak lebih dari 10 orang yang angkat tangan dari sekitar 100 orang yang ada di kelas. Ya ampun, padahal saya lihat banyak sekali yang sebenarnya belum ngerjain. Sebenarnya apa susahnya sih angkat tangan sebagai bentuk tanggung jawab kita?, apa takut sama dosen?, atau takut suruh maju dan ngerjain soal di depan?.  saya bingung, kenapa lingkungan kampus yang katanya terbaik di Indonesia kok seperti ini?.
Aduh, cukup lah mikirin semua itu karena susah mencari pangkal ujungnya. Tapi saya bersyukur karena seminar kemarin setidaknya memberi sedikit titik terang untuk otak saya. Kata Pak Anies Baswedan, pemuda sekarang banyak yang aktif, kritis, tapi negatif. Begitu bombabtis memang. Negatif disini berarti pemuda lebih sering berfikir tentang permasalahan tanpa ada solusi. Kritis memang bagus, tapi kalau hanya di mulut apalah guna semua itu?. Harapan itu masih ada. Jangankah terlalu mengungkit apa yang terjadi sehingga semakin memperkeruh suasana. Yang perlu kita lakukan adalah selalu optimis untuk bergerak maju untuk Indonesia yang lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part I

CLIMB

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part II