Di Persimpangan
Uas sudah selesai. Tetapi, setelahnya masih
banyak yang perlu dikerjakan. Sepertinya liburan kali ini harus ditunda
beberapa waktu. Keinginan buat pulang rumah pun untuk sementara harus dipendam
dulu. Hmmm, tapi mengapa di saat-saat mendesak seperti ini saya malah menulis?
Memang ya, menulis itu datangnya selalu tak sesuai dengan situasi kondisi.
Tapi, ya sudah lah. Just enjoy it…
Entah mengapa beberapa tulisan saya
terakhir selalu saya kaitkan dengan novel. Begitu pula dengan yang satu ini.
Kamu sudah membaca novel berjudul Ipung, atau lebih tepatnya 3 novel Ipung
yaitu Ipung 1, Ipung 2, dan Elegi Surtini dan Ayunda?. Beruntunglah kamu karena
saya pun baru membacanya sekarang. Banyak pelajaran bermakna di dalamnya, dan
sedikit banyak menambah khazanah pemikiran saya. Cara menghadapi berbagai jenis
orang, sikap yang dewasa tanpa dibuat-buat serta mengerti dimana kita
menempatkan diri dalam suatu kondisi. Jujur, mungkin ketika menulis ini untuk
pertama kalinya saya merasakan galau. Biasanya paling tidak saya selalu memberi
minimal 80% untuk suatu keputusan yang saya ambil. Tapi sekarang? Entahlah,
saya tak bisa untuk seperti biasa. Semua orang pasti tahu kalau hidup adalah
pilihan. Hanya segelintir orang yang bisa bertahan dengan beberapa pilihan
sekaligus. Inilah yang sedang saya alami sekarang. Pekerjaan “memilih” memang
membutuhkan perhitungan yang kuat. Mana yang lebih diprioritaskan?, yang pasti
tak bisa dua-duanya. Lagi-lagi saya dituntut untuk berpikir dewasa. Tak ada
pihak yang patut untuk disalahkan, baik diri kita sendiri. Kesimpulan yang
benar tidak diambil berdasarkan emosi dan ego. Oleh karena itu, saya mencoba
berpikir selogis mungkin. Maaf sebelumnya, jika ada kata-kata saya yang
terkesan menggurui.
Dari situ saya mendapat pelajaran berharga dimana
selama 13 tahun saya sekolah belum
pernah saya dapatkan. Pelajaran yang mungkin hanya bisa diperoleh oleh orang
yang mengalaminya. Ya, paling tidak saya sekarang mengerti makna dari comfort
zone dan danger zone(kalau tidak salah) dalam Note From Qatar. Merugilah orang yang telah keukeuh
dengan comfort zonenya karena danger zone lah dunia yang sebenarnya. Apalah
artinya hidup jika kita telah nyaman dan puas dengan apa yang telah kita dapat
sekarang? Bukannya tidak mensyukuri nikmat Alloh SWT. Tetapi, karena konsep
syukur sendiri adalah berusaha lebih baik lagi untuk menuju suatu pencapaian.
Jika tidak demikian, maka kata “syukur” menjadi semacam kambing hitam dari
pencapaian yang sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan kita.
Sebagai penutup, ada satu ayat Al-Qur’an
yang seringkali saya renungi dalam menjaga diri dari keinginan yang dunia yang
sebenarnya kurang penting.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Komentar
Posting Komentar