Catatan Pembelajar


Tiba-tiba saja sudah akhir Juni, penghujung semester 2 yang menentukan. Sebenarnya, banyak sekali cerita yang mau saya bagi. Tapi, beginilah rasanya menulis. Gampang tapi juga susah. Sering kali ide buat menulis muncul di waktu yang tidak memungkinkan untuk menulis dan sebaliknya, ketika ada waktu luang untuk menulis tapi malah bingung. Dalam salah satu bukunya, Mbak Afifah Afra bilang bahwa salah satu tips trampil menulis adalah dengan membawa catatan kecil kemanapun. Hal itu karena ide bisa muncul kapan saja dan dimana saja, kalau tidak dicatat maka kata “lupa” selalu menjadi alasan klasik buat kita. Ya nggak?

Ketika saya menulis ini, saya baru saja selesai merampungkan membaca novel Sepatu Dahlan. Novel pertama dari Trilogi yang bercerita tentang kisah hidup Dahlan Iskan, Menteri BUMN sekarang. Dari novel yang menurut saya isinya satu jenis dengan Laskar Pelangi ini, saya dapat mengambil pelajaran tentang kegigihan menjalani hidup, semangat juang, persahabatan, serta percintaan. Saya menjadi dibuat untuk menelusuri kembali kehidupan saya ke belakang. Pastinya berbeda dengan cerita Pak Dahlan, tapi tak ada salahnya mengenang masa lalu untuk pejakan menuju masa depan kan? Saya cuma anak dari desa yang jauh dari gemerlap kota dan alangkah beruntungnya ketika saya melihat keadaan diri saat ini yang kuliah di UGM. Dari keluarga yang biasa-biasa saja, baik secara ekonomi maupun kedudukan di masyarakat, saya berjalan bahkan berlari demi saya dan keluarga. Saya ingat permintaan saya untuk melanjutkan di sekolah di SMP favorit di daerah saya. Dengan bekal nilai yang cukup baik, banyak yang menyarankan saya untuk masuk kesitu. Tapi, Bapak berkata lain. Saya disuruh masuk Madrasah Tsanawiyah yang menurut saya biasa-biasa saja. Dengan pertimbangan finansial keluarga, akhirnya saya menuruti perintah orang tua. Masih teringat dalam memori saya ketika salah satu guru MTs berkata kepada saya saat registrasi, “Kamu kenapa daftar kesini? Kenapa nggak ke SMP X saja?” saya hanya tersenyum kecut sambil menguatkan hati. Saya sadari, saya sering berbeda pendapat dengan bapak saya dalam banyak masalah. Mulai masalah pembelian TV, sepeda, dan rak buku. Dan selalu berakhir dengan kerelaan saya untuk menerima keadaan saat ini. Begitu pula dengan masalah sekolah saya ini.

Masa-masa sekolah menengah saya jalani seperti anak-anak pada umumnya. Tiga tahun yang lebih lekat dengan masa-masa bermain dan pertemanan ala remaja desa dan pesantren. Hari ulang tahun yang selalu berakhir ceplokan telur dan tepung, berkemah, dan surat-menyurat adalah hal yang paling terkenang bagi  saya. Tahun ketiga adalah saat yang menegangkan karena menentukan akan kemana saya melanjutkan. Lagi-lagi saya berkeinginan untuk bersekolah di SMA favorit di daerah saya. Tetapi, Ibu saya menolaknya dengan alasan yang lagi-lagi harus saya pahami sendiri. Meskipun jarang berbicara dengan Bapak, saya tahu bahwa beliau berniat menyekolahkan sekaligus memondokan saya di pondok dimana dulu beliau juga sekolah disitu. Waktu semakin dekat menuju berakhirnya masa studi di MTs dan tampaknya keinginan untuk melanjutkan ke SMA favorit tidak akan terwujud. Saya hanya menunggu keputusan untuk sekolah di madrasah aliyah di desa saya atau mondok dan sekolah madrasah aliyah seperti niat Bapak. Tapi, kabar gembira datang dari kepala sekolah yang menyarankan saya untuk mencoba mendaftar ke Madrasah unggulan berbeasiswa yang merupakan program Depag. Meskipun awalnya Ibu kurang sreg, tapi akhirnya beliau menyetujui. Berbagai tahapan seleksi saya jalani. Saya tahu orang tua saya semakin rajin berdo’a sekarang. Dan akhirnya tibalah waktunya, hari itu tanggal 30 Juni 2008 kami bertiga, saya Bapak dan Ibu, berpelukan di beranda rumah. Air mata tak kuat saya bendung lagi melihat Ibu yang juga menitikan air mata gembira. Alhamdulillah, Saya lulus masuk ke MAN Insan Cendekia Serpong…..




Keberhasilan memang selalu menuntut perjuangan yang baru. Tiga tahun di IC merupakan cerita yang sangat panjang untuk dituliskan. IC mengajarkan saya tentang makna sebuah ilmu, teman, masa depan, kekeluargaan, motivasi, kerja keras serta kemandirian. Dengan kegiatan yang terjadwal padat, saya dituntut untuk menikmatinya. Di IC saya menemukan harapan besar dan keyakinan kuat untuk masa depan saya. Jujur, dulu sebatas membayangkan kuliah pun saya tidak berani. Bukan karena tak punya keinginan kuliah, tapi saya kembali dihadapkan pada permasalahan keluarga. Tidak mungkin bagi saya untuk meminta kuliah kepada orang tua, rasanya kebersamaan dan kasih sayang orang tua sudah cukup bagi saya. Tapi, IC telah mengubah paradigma saya, memotivasi dan memberikan gambaran yang begitu nyata bahwa jalan menuju kuliah itu terbuka lebar. Bahkan untuk orang dari keluarga pas-pasan seperti saya. Di IC juga saya mendapat jalinan pertemanan antardaerah di seluruh Indonesia, mulai dari Aceh sampai Ternate. Teman-teman yang selama 3 tahun senasib seperjuangan, tempat bercerita, main dan lain sebagainya. Begitu indahnya masa-masa di IC sampai-sampai hari perpisahan selalu terbayang-bayang menjadi kegalauan tersendiri. Sabtu, 11 Juni 2011 kami satu angkatan diwisuda dan secara resmi menjadi bagian dari keluarga besar IAIC (Ikatan Alumni Insan cendekia). Hari yang penuh dengan keharuan dibanding hura-hura ala anak SMA apa umumnya.

Jika sebagian besar orang merasa perjuangan mendapatkan bangku kuliah adalah perjuangan yang paling sulit dari pada sekedar masuk SMP atau SMA, maka hal itu berkebalikan dengan saya. Dengan reputasi SMA yang cukup bagus, saya Alhamdulillah berhasil mendapatkan kursi kuliah di Universitas Gadjah Mada. Kampus yang menjadi tujuan favorit para mahasiswa. Sebagai seorang mahasiswa, saya berusaha menjadi pembelajar yang baik. Pembelajar di dalam dan di luar kelas, di dalam dan di luar kampus, pembelajar bagi diri dan lingkungan saya. Kuliah yang dulu tidak berani saya bayangkan ternyata sekarang sedang saya jalani. Begitulah Alloh SWT memberi jalan hidup bagi saya. Waktu kuliah tinggal 3 tahun, tak ada yang boleh disia-siakan dari waktu itu karena “alwaqtu kasy-syaif”. Bismillah, semoga Alloh SWT selalu meridloi setiap langkah yang saya tempuh.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part I

CLIMB

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part II