120 Menit Lepas Tengah Malam


“Jundulloh... Jundulloh... Jundulloh... ”, teriakan seketika terdengar di telingaku, menyampaikan impuls ke otakku untuk bangun dari alam bawah sadarku. Kulihat sekelilingku, semua temanku seakan merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan saat ini. Semuanya dalam keadaan yang baru tersadar dari alam mimpi. Wajah-wajah lusuh itu tanpa berpikir panjang langsung memasang telinga mereka demi mendengarkan instruksi yang diperintahkan kepada mereka. Dan aku mau tak mau harus mengikuti seperti apa yang mereka lalukan. Di satu sisi aku merasa de javu. Aku merasa pernah mengalami semua ini. Aku merasa aku pernah mengalami kajadian-kejadian yang sedang berjalan di depan mataku saat ini. Entah itu kapan, yang pasti aku pernah mengalaminya. Ya Alloh... apa arti semua ini?. Aku tak menemukan jawaban.
Semuanya seperti berjalan begitu cepat. Tiba-tiba ku sadar semua temanku sedang dalam keadaan push up. Dan aku tahu hanya aku seorang diantara mereka yang tetap yakin untuk mengambil sikap berdiri. Dalam hati aku bertanya-tanya, “Apa-apaan semua ini?. Apakah setiap kesalahan harus dibayar dengan kesalahan?. Bukankah kesalahan itu adalah sesuatu yang wajar?. Bukankah hanya Alloh yang maha tahu atas segala kesalahan kita?. Jadi, apakah kita harus mempertaruhkan keberanian kita demi sebuah kepatuhan dan ketaatan kepada orang yang belum kita kenal siapa dia?”. Aku hanya diam. 120 menit lepas tengah malam ketika kejadian itu berlangsung. Kesunyian malam terasa sampai dalam hati. Bagiku menjadi seorang muslim adalah anugerah tersendiri yang tiada bandingnya. Aku tahu bahwa Alloh menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk-Nya yang lain. Kita memang dituntut untuk selalu sempurna dalam segala hal. Tapi, apakah itu berarti setiap manusia harus menyembunyikan ke’cacat’nya demi sebuah kesempurnaan?. Aku tak tahu mengapa pikiran-pikiran itu sejenak berkelebat di memori otakku.
Disekelilingku mereka membayar kesalahan mereka dengan push up. Hanya karena kesalahan yang mungkin mereka sangat lalai mengerjakannya, mereka berani mengorbankan fisik mereka di depan senior. Dalam pikiranku, “Bukankah Alloh yang lebih tahu semua kesalahan?”. Kehidupan nyata memang serasa begitu jauh dari ideal. Dalam training seperti yang sedang aku jalani ini, setiap orang berani bertanggung jawab atas semua kesalahan mereka. Sekecil apapun itu. Tapi dalam kehidupan real-nya, untuk sekedar menjalankan kewajiban tidak mencontek dalam ujian pun hanya segelintir orang yang bisa memegang amanah itu. Memang miris, tapi semuanya memang nyata terjadi di depan mataku. Yang ku tahu, Alloh mengetahui segala kemampuan hamba-Nya dan Dia tak akan memberikan yang lebih berat dari apa yang mampu hamba-Nya lakukan. Kadang aku berpikir, apakah ini hanya masalah prinsip?. Setiap orang tidak bisa disalahkan jika itu menyangkut masalah prinsipnya. Apakah aku mempunyai prinsip yang berbeda dengan teman-temanku yang ber-push up ria saat ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part I

CLIMB

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part II