Halal dan Peluangnya untuk Produk Pangan dan Bukan Pangan
Halal telah menjadi isu yang luar biasa yang tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di tingkat global. Indonesia berpenduduk 255,46 juta jiwa dan 87,2 di antaranya adalah muslim. Hal tersebut berarti populasi muslim Indonesia sekitar 223 juta jiwa.
Berdasarkan data Grand View Research Inc., pasar produk pangan halal secara global akan mencapai USD 2,1 triliun pada 2025. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh pertumbuhan muslim yang meningkat dari 23% terhadap populasi dunia pada 2017 menjadi 30% pada 2030. Asia Pasifik merupakan pasar produk pangan yang besar pada 2016 dan 63% populasinya adalah muslim. Sebanyak 55% muslim dari regional Asia Pasifik berada di Indonesia dan Malaysia.
Berawal dari 1988, halal menjadi sebuah isu yang sensitif dengan
ditemukannya ingridien turunan babi seperti gelatin pada produk pangan oleh
Prof. Tri Susanto dari Universitas Brawijaya. Isu halal memengaruhi pertumbuhan
penjualan produk secara nasional. Oleh karena itu, pemerintah melalui Majelis
Ulama Indonesia (MUI) membentuk sebuah badan bernama Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) pada 1989 dan sertifikasi halal menjadi hal
yang bersifat sukarela (voluntary).
“Jika isu halal tidak ditegakkan oleh pemerintah untuk melakukan
perlindungan hukum dan sebagainya, maka akan terjadi keresahan di masyarakat
dan halal menjadi isu yang tidak produktif. Oleh karena itu, adanya
undang-undang jaminan halal memberikan sarana bagi produsen dalam menjamin
kehalalan produknya sekaligus perlindungan bagi konsumen,” jelas Kepala Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Prof. Ir. Sukoso., M.Sc., Ph.D
dalam sebuah workshop di Jakarta beberapa waktu lalu. Ia menuturkan bahwa
melihat yang sudah terjadi sebelumnya, hasil riset yang dipublikasi pun bisa
membuat ketidakpercayaan konsumen dalam membeli produk di mana terjadi
penurunan penjualan produk 20-30%. Penyebaran berita di media sosial memiliki
peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat. “Jika pemerintah tidak
berinisiatif melakukan perlindungan, maka industri akan merugi karena
berhadapan dengan isu-isu yang tidak penting. Begitu pula dengan konsumen,”
ungkapnya.
Pada 2019 mendatang, sertifikasi halal akan bersifat wajib yang
dalam pelaksanaannya akan melibatkan tiga lembaga, yaitu MUI, BPJPH, dan
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). BPJPH bertugas dalam memberikan regulasi, mekanisme
proses dan lainnya. Adapun yang bertugas turun ke lapang adalah LPH yang bisa
didirikan oleh lembaga swasta, lembaga negara dan perguruan tinggi selama
memenuhi persyaratan yang ditentukan. Salah satu syarat dari LPH adalah minimal
mempunyai tiga auditor halal dan auditor tersebut harus mengaudit sesuai bidang
spesifik yang dikuasai, misalnya bidang pangan harus ditangani oleh auditor
halal khusus untuk pangan. Selanjutnya, MUI memberikan fatwa halal berdasarkan kesepakatan antar ulama.
Terkait struktur kelembagaannya, Sukoso menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 42 Tahun 2016, BPJPH terdiri atas sekretariat, pusat registrasi dan sertifikasi, pusat pembinaan dan pengawasan, dan pusat kerjasama dan standardisasi. Bagian pembinaan diutamakan untuk para usaha kecil dan menengah (UKM) dalam rangka pengembangan produk untuk memperoleh sertifikat halal dan menjamin produk tersebut tetap sesuai dengan kriteria halal. Adapun bagian standardisasi, BPJPH tidak menjadi lembaga yang mengeluarkan standar, namun membutuhkan standar-standar yang mendukung terlaksananya sertifikasi halal. “Oleh karena itu, kami berdiskusi dengan badan negara lain, misalnya dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) terkait standar sistem halal yang tercantum dalam SNI 99001:2016 tentang sistem halal,” tambahnya.
Meskipun awalnya
permintaan halal hanya untuk produk pangan, namun tuntutan konsumen menjadikan
produk-produk selain pangan perlu bersertifikat halal juga, misalnya produk
obat-obatan, kosmetik, jasa dan pelayanan, serta produk bukan pangan lainnya
(lihat Gambar 2). Bahkan, Sukoso menyontohkan ada produsen pupuk yang
menginginkan produknya untuk disertifikasi halal. Oleh karena itu, pemerintah
dan industri tidak bisa menutup mata bahwa paradigma halal telah sangat luas
karena kebutuhan konsumen yang terus berkembang. Ia mengatakan bahwa siapa yang
tidak memenuhi keinginan muslim dalam sebuah produk, maka produsen akan
kehilangan kesempatan penjualan produk yang besar dari hulu sampai hilir.
Gambar 2. Cakupan produk halal
Sumber: Sukoso (2017) |
Di bidang pelayanan, selain berupa jasa keuangan, juga terdapat
pelayanan bukan keuangan, misalnya Jepang dan Korea mulai merintis rumah sakit
berstandar halal. Di luar negeri, beberapa juga telah menerapkan standar halal
minimal untuk hotel. Beberapa standar halal yang harus diterapkan dalam bisnis
hotel contohnya adalah standar toilet yang memenuhi persyaratan untuk bersuci
dan adanya petunjuk arah kiblat.
Declaimer: Artikel ini sebelumnya telah terbit di Majalah Foodreview Indonesia. Lebih lengkapnya silakan kunjungi www.foodreview.co.id atau email: langganan@foodreview.co.id
Komentar
Posting Komentar