Sang Pangeran dan Janissary Terakhir: Sebuah Review


“Yang bisa dilakukan musuh kepada kita takkan melampaui apa yang telah ditakdirkan Alloh semata. Meski bersekutu dengan seluruh penghuni langit dan bumi, mereka takkan bisa berbuat lebih dari itu”
Itulah penggalan salah satu percakapan dalam Novel berjudul Sang Pangeran dan  Janissary terakhir, sebuah novel hasil karya Ust. Salim A. Fillah. Seorang Ustadz yang sebelumnya telah mahir merangkai kata dalam menciptakan buku-buku bergenre religi yang sekarang memantabkan hati untuk menulis kisah tentang perjuangan Pangeran Diponegoro, seorang Pangeran Keraton Kesultanan Mataram yang bergelar  Kanjeng Sultan Abdul Hamid Herucokro Kabirul Mukminin Sayidin Panotogomo Khalifatu Rasulillah Ats-Tsani Senopati Sabilillah Satanah Jawi. Sebuah karya yang cukup berani menurut saya karena mereka ulang sejarah tidak lah mudah. Menelusuri peristiwa demi peristiwa di masa lampau dan menghadirkan kembali sosok Pangeran Diponegoro seakan tokoh masih hidup tidaklah mudah. Namun, Ust. Salim berhasil mengeksekusinya dengan epik melalui deskripsi, diksi, serta alur yang membuat saya pribadi tidak bosan membacanya.

Novel dengan tebal  631 halaman ini sejatinya tidak hanya membawa kita pada cerita perjuangan dalam arti sesungguhnya. Namun lebih dari itu juga menyuguhkan kisah dengan balutan nilai-nilai nasionalisme (yang pada waktu itu berlatar nasionalisme terhadap Kesultanan Mataram karena terminologi “Indonesia” mungkin belum ada), agama, serta drama percintaan yang makin membumbui keseluruhan cerita.

Deskripsi nan apik dan detail menjadi salah satu keunggulan novel ini. Contohnya bagaimana penulis menjelaskan ritual caos bekti di mana si Anthonie Hendrik Smissaert dengan seenak hati memangku Kanjeng Sultan Menol atau Sultan Hamengkubuwono V dan hal tersebut sangat memukul hati semua sentaya nayaka serta menginjak-nginjak keluhuran budaya keraton. Penulis melalui kata-kata, deskripsi latar dan suasana mampu membawa emosi pembaca mengikuti acara caos bekti yang seharusnya begitu sakral tersebut harus tercoreng oleh ulah residen Belanda. Pun penulis melanjutkan adegan caos bekti yang gagal tersebut dengan adegan Patih Danurejo IV dan Tumenggung Wironegoro merasakan hantaman selop Pangeran Diponegoro karena mereka sewenang-wenang memungut pajak dan pelanggaran lainnya yang merugikan rakyat. Sungguh penguraian peristiwa yang sangat baik karena membiarkan emosi pembaca mencapai klimaks untuk kemudian menggiringnya menuju pelampiasan perasaan kesal terhadap Patih Danurejo IV dan Tumenggung Wironegoro.

Sang Pangeran dan Janissary Terakhir 

Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang dijelaskan dengan sangat menarik lainnya. Misalnya ketika penulis menuturkan dengan sangat rinci penyerangan pasukan Belanda yang sangat mendadak di Selarong. Penyerangan dari berbagai arah. Ketika masing-masing pasukan Pangeran Diponegoro satu per satu dapat bertahan dan mematahkan pertahanan kubu lawan. Ketika Ali Basah Abdul Kamil, panglima andalan Sang Pangeran melakukan penyerangan bersama pasukan berkudanya. Ketika Sentot Prawirodirjo menggulung pasukan infanteri Belanda. Begitu pula yang dilakukan para punggawa Sang Pangeran yang lain, Basah Nurkandam, Basah Gondokusumo, Mertonegoro dan yang tidak kalah epik adalah adegan ketika Basah Katib berlari menggendong Kyai Kwaron menghindari Joost dan bahkan berhasil menembakkan peluru dari pistol duvalnya ke kaki Joost.

Pun melalui rangkaian kata-katanya, Ust. Salim berhasil membawa pembaca treyuh ketika diajak mengikuti adegan-adegan ketika masa-masa Sang Pangeran di  pesanggrahan Matesih, daerah tanjung pengaliran Kali Progo. Masa-masa di mana perjuangan belum berakhir dan memulai langkah diplomasi. Masa-masa di mana Pangeran yang sangat dijunjung rakyat itu berusaha tetap tenang menghadapi kemungkinan apapun. Masa-masa di mana hari-hari nan fitri yang juga hari-hari terakhir perjuangan Pangeran karena kedatangannya yang kesatria malah berbalas penghianatan Belanda. Saya menggarisbawahi pesan yang ingin disampaikan penulis dibalik cerita diplomasi berbalas penghianatan ini, yaitu sebagaimana tutur Kyai Kwaron berikut:

“Dikhianati tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah berkhianat. Ditipu tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah menipu. Dibunuh tidaklah berbahaya. Yang berbahaya adalah membunuh,” tutur Kyai Kwaron ketika masa-masa masih di Goa Selarong.
Selain deskripsi nan apik, novel ini juga menyajikan jalan cerita yang menarik. Pada 100 halaman pertama, mungkin pembaca masih bingung dan meraba-raba jalan cerita novel ini. Namun, percayalah setelah 100 halaman itu pembaca akan dibuat mengikuti cerita demi cerita serta mengurai benang merah antara satu peristiwa dengan peristiwa yang dituturkan dengan pilihan bahasa khas penulis. Menulis sejarah dan mereka ulang adegan memang tidak mudah. Namun, penulis mampu membawa pembaca mengikuti sejarah panjang pergerakan dan perjuangan Pangeran Diponegoro, merasakan atmosfer Istanbul di bawah peradaban Turki Ustmani, mengikuti seluk beluk perjalanan Janissary hingga akhirnya sampai ke Jawa, memahami tingginya budaya keraton, mengenal lebih dekat istilah-istilah Jawa maupun Belanda, dan melihat lebih detail bagaimana bobroknya akhlak penjajah serta bagaimana menderitanya rakyat hingga akhirnya timbullah perlawanan oleh Sang Pangeran.

Yang tidak kalah menarik pula adalah kecekatan penulis menyisipkan drama percintaan dengan plot yang membuat pembaca menebak-nebak hingga harus membaca novel ini sampai sisa-sisa halaman terakhir. Sebuah plot twist yang indah berhasil tercipta di peperangan Benteng Kemit, Gombong. Jawaban atas cerita cinta antara Basah Nurkandam, Raden Ajeng Siti Fatmawati, Basah Katib, Nuryasmin, dan Sofiyawati. Serta yang tidak kalah membuat penasaran adalah tentang sosok Cao Wan Jie. Baca sendiri yaa… Saya tidak mau membuat terlalu banyak spoiler disini hehe. Cerita cinta ini semakin menarik dengan penambahan beberapa kalimat-kalimat romantis nan magis ala Ust. Salim, misalnya:

“Dinda, aku titipkan diriku pada doa-doamu,” ucap Basah Katib ketika berpamitan ke istrinya, Nuryasmin.
Atau kutipan perkataan Imam Syafi’i yang disampaikan Basah Katib dalam pengajian di Puri Tegalrejo berikut:

“Jika ingin menikmati sesuatu, bayangkanlah ketika kau tak mempunyainya. Jika kau merasa tak mengapa kehilangan sesuatu, baru aman bagimu memiliki.”
Sebagai novel dengan latar Jawa, saya rasa penulis telah berhasil membawa pembaca merasakan atmosfer Jawa zaman dahulu, misalnya tentang unggah-ungguh di keraton, gelar-gelar para punggawa keraton, istilah-istilah dan percakapan ala Jawa yang penuh makna tersirat, serta berbagai hal-hal khas lainnya seperti cerita tentang keris dan makanan dalam filosofi Jawa. Tentang makanan, Ust. Salim menjelaskan panjang lebar tentang nasi wuduk, ingkung ayam, dan sambal gepleng yang kalau saya beberkan disini akan terlalu panjang, haha. Misalnya tentang ingkung ayam di mana ayam dimasak dalam keadaan utuh, diikat dengan welat, dibentuk menyerupai orang yang sedang sujud sehingga mempunyai makna eling nyekungkung, ingat kepada Gusti Alloh. Sebagaimana mana manusia nanti akan mati, nyekungkung dan tidak lagi bisa berbuat dan beramal apapun ketika nyawa sudah tidak menyatu dengan jasad.

Penulis juga pandai menyisipkan pesan-pesan dalam setiap cerita yang dibangun. Pesan dengan pilihan kata yang indah dan sangat relatable dengan persoalan-persoalan sekarang. Misalnya beberapa kalimat yang saya kutib di atas. Atau kalimat berikut dalam adegan diskusi antara Sang Pangeran dengan para punggawanya yang membahas tentang ketidakberhasilan Murad dalam menjalin komunikasi kerjasama dengan Sumatera Barat untuk kembali melakukan perlawanan. Berikut bunyi pesan Basah Katib dalam diskusi tersebut.

“Perbedaan dalam hal cabang tidak boleh menafikkan kesatuan pada akar dan batang. Perbedaan yang masih dapat dihitung tidak boleh mengalahkan persamaan yang tidak terbilang. Kita sedang sama-sama membangun istana peradaban umat Islam. Akan jadi lucu kalau yang sedang menggali pondasi mengolok-olok yang membuat jendela. Akan jadi aneh kalau yang menyiapkan gentengnya mencaci maki yang menyusun batu-bata. Akan jadi rusak kalau yang memasang ubin lantainya merendahkan yang menautkan rangka-rangkanya”
Satu hal lagi yang menurut saya menjadi perhatian adalah novel ini berhasil mengungkap benang merah panjang antara sejarah Nusantara, Kesultanan Turki Ustmani, kedatangan Barat, dan rempah-rempah. Penulis membeberkan bagaimana akhirnya Portugis dan tetangganya mencapai bumi Nusantara karena harga rempah yang mahal akibat penutupan perdagangan oleh Turki. Pun bagaimana Turki dengan alasannya menutup jalur rempah ke Eropa semuanya dikupas dalam novel ini. Suatu hal yang jarang diungkap di publik karena selama ini sejarah yang kita pelajari tidak sampai menganalisis sampai ke arah sana.

Terlepas dari keunggulan yang disajikan novel ini, saya rasa ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi untuk menyempurnakan novel ini. Misalnya dari segi latar cerita, penulis mengambil beberapa tempat seperti keraton, Puri Tegalrejo, Bagelen, Selarong, Sungai Bogowonto,dan Menoreh sehingga akan lebih baik untuk dibuatkan peta tentang daerah-daerah tersebut. Begitu pula dengan Taman Sari dan Istanbul, pembaca akan lebih mengerti jika disajikan dalam bentuk denah, di samping penggambaran yang telah dijabarkan penulis.

Selain itu, penokohan juga menjadi aspek penting lain yang melengkapi sebuah cerita sehingga dengan banyaknya tokoh (beserta gelar, nama alias, nama panggilan) dalam novel ini, mungkin akan lebih baik jika penokohan dibuat lebih detail dan tidak menggantung. Dan akan lebih mudah pula jika punggawa-punggawa keraton disajikan dalam bentuk pohon silsilah sehingga melengkapi informasi yang telah dituturkan penulis dalam cerita. Adapun keterangan para tokoh di halaman awal dirasa belum cukup masih harus disertai pendalaman karakter yang nantinya akan berperan dalam membangun cerita.

Secara keseluruhan, novel ini sangat layak dibaca. Tidak hanya sebagai karya sastra tulisan yang menyajikan keindahan cerita dan kata, novel ini juga memberikan pengalaman baru bagi pembaca terutama tentang informasi-informasi sejarah yang selayaknya diketahui dan dipahami oleh masyarakat.

Bibliografi:
Judul                  : Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Pengarang          : Salim A. Fillah
Tebal                  : 632 halaman
Penerbit             : Pro-U Media
ISBN                  : 978-623-7490-06-7






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part I

CLIMB

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part II