Hujan (bukan versi Tere Liye)
Selamat pagi Bogor!
Seperti pagi-pagi biasanya yang selalu berkutat antara memilih terjaga atau terhanyut tidur kembali setelah shubuh. Dan hari ini Saya menyerah pada kelopak mata yang seperti ditindih awan.
Selamat pagi Bogor!
Ah ternyata Saya salah. Pagi ini rasanya tepat seperti setahun lalu. Pagi ini Engkau mencurahkan rizki-Mu. Menunjukkan satu dari nikmat-Mu yang tak terhitung. Pagi ini awan mengalah pada hujan yang menjadikannya tiada. Aiih, bait puisi Sapadi Djoko Damono itu memang terasa dalam.
Selamat pagi Bogor!
Selamat pagi Kota Hujan yang telah hujan kembali. Hujan ini mengingatkan Saya pada masa-masa awal pindah ke Bogor. Hujan hampir setiap hari mengguyur dan memaksa Saya hujan-hujan antara kost dan tempat kerja yang jaraknya tak begitu jauh. Tapi meskipun hanya selemparan batu, lama-lama ngga sehat juga hujan-hujanan. Akhirnya, kondisi Bogor berhasil mengilhami Saya membeli payung. Padahal sebelumnya selama di Jogja belum pernah punya payung. Dan jadilah kemana-mana sedia payung dalam tas. (Semacam cerita ngga penting ya ~~~)
Selamat pagi Bogor!
Terima kasih atas hujan-Mu pagi ini (yang sampai sore ini gerimis tak kunjung reda). Di sela-sela akhir bulan dengan deadline yang berkejaran. Di saat semua orang bahagia karena gaji bulanan turun. Tapi, kadang merasa kasihan. Tadi pagi bapak-bapak penjual rujak yang biasa mangkal depan kost belum terlihat karena hujan. Tadi pagi bapak-bapak tukang bubur langganan sepi karena hujan.
Selamat pagi Bogor!
Sudah seharusnya hujan membuat kita tetap beraktivitas seperti biasa. Bahkan lebih bersemangat. Lebih bersyukur. Jadi, bukan salah hujan jika jajanan pinggir jalan sepi. Bukan salah hujan jika bapak-bapak tukang bubur sepi pembeli. Jangan salahkan hujan pula jika banyak yang terlambat masuk kelas kuliah atau masuk kantor.
Terima kasih hujan
Seperti pagi-pagi biasanya yang selalu berkutat antara memilih terjaga atau terhanyut tidur kembali setelah shubuh. Dan hari ini Saya menyerah pada kelopak mata yang seperti ditindih awan.
Selamat pagi Bogor!
Ah ternyata Saya salah. Pagi ini rasanya tepat seperti setahun lalu. Pagi ini Engkau mencurahkan rizki-Mu. Menunjukkan satu dari nikmat-Mu yang tak terhitung. Pagi ini awan mengalah pada hujan yang menjadikannya tiada. Aiih, bait puisi Sapadi Djoko Damono itu memang terasa dalam.
Selamat pagi Bogor!
Selamat pagi Kota Hujan yang telah hujan kembali. Hujan ini mengingatkan Saya pada masa-masa awal pindah ke Bogor. Hujan hampir setiap hari mengguyur dan memaksa Saya hujan-hujan antara kost dan tempat kerja yang jaraknya tak begitu jauh. Tapi meskipun hanya selemparan batu, lama-lama ngga sehat juga hujan-hujanan. Akhirnya, kondisi Bogor berhasil mengilhami Saya membeli payung. Padahal sebelumnya selama di Jogja belum pernah punya payung. Dan jadilah kemana-mana sedia payung dalam tas. (Semacam cerita ngga penting ya ~~~)
Selamat pagi Bogor!
Terima kasih atas hujan-Mu pagi ini (yang sampai sore ini gerimis tak kunjung reda). Di sela-sela akhir bulan dengan deadline yang berkejaran. Di saat semua orang bahagia karena gaji bulanan turun. Tapi, kadang merasa kasihan. Tadi pagi bapak-bapak penjual rujak yang biasa mangkal depan kost belum terlihat karena hujan. Tadi pagi bapak-bapak tukang bubur langganan sepi karena hujan.
Selamat pagi Bogor!
Sudah seharusnya hujan membuat kita tetap beraktivitas seperti biasa. Bahkan lebih bersemangat. Lebih bersyukur. Jadi, bukan salah hujan jika jajanan pinggir jalan sepi. Bukan salah hujan jika bapak-bapak tukang bubur sepi pembeli. Jangan salahkan hujan pula jika banyak yang terlambat masuk kelas kuliah atau masuk kantor.
Terima kasih hujan
Komentar
Posting Komentar