Kedaulatan Pangan Indonesia. Antara Harapan dan Kenyataan


ini adalah essay yang saya buat dalam rangka hari pangan beberapa bulan lalu, selamat membaca. semoga bermanfaat.

Mendengar kata “Kedaulatan Pangan” membuat penulis kembali teringat pada masa orde baru dimana waktu itu Indonesia pernah mencapai swasembada pangan. Ketika itu sektor pertanian mendapatkan tempat yang cukup terhormat di negeri ini. Pemerintah dengan kebijakannya mencanangkan revolusi hijau dengan beberapa program untuk pemberdayaan pangan. Salah satu jargonnya yang terkenal yaitu panca usaha tani yang merupakan lima pokok cara bertani untuk mendapatkan hasil yang bisa mendekati sempurna. Dan hasilnya cukup cemerlang. Indonesia yang tadinya merupakan negara pengimpor beras nomor satu di dunia berubah menjadi negara yang swasembada pangan. Tak heran jika pihak luar negeri mulai melirik pertanian Indonesia sebagai contoh untuk pertanian di negerinya.Tapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Sejak awal tahun 1990-an, sektor pertanian yang sudah  menopang hidup sebagian besar penduduk Indonesia, mulai menurun dan perlahan tapi pasti semakin terpuruk. Salah satu penyebabnya datang dari pihak pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang diikeluarkan pemerintah seakan mengesampingkan sektor pertanian dan lebih mengutamakan sektor-sektor lain seperti sektor industri, perdagangan, dan jasa.
Bicara masalah “pangan” sebenarnya bukan hanya sektor pertanian yang jadi obyek pembicaraan. Tetapi, sektor peternakan dan perikanan juga mempunyai peran yang cukup besar. Daging sapi dan daging ayam misalnya, sebenarnya Indonesia didukung oleh kondisi alamnya mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan peternakan. Tapi kenyataannya, dalam situasi dan kondisi tertentu Indonesia masih mengimpor sapi dari Australia demi memenuhi pasokan daging dalam negeri.
Semua itu seakan terjadi di depan mata. Sekaranglah saat yang tepat untuk mulai melakukan solusi dengan langkah-langkah nyata karena tak selamanya pemerintah bisa diandalkan. Komitmen pemerintah tidak selalu menggembirakan. Dalam rangka perbaikan ekonomi misalnya, pinjaman luar negeri masih diprioritaskan. Oleh karena itu dibutuhkan orang-orang yang memiliki daya kreasi dan inovasi untuk merubah barang yang tidak berguna menjadi bernilai, merubah sampah menjadi pupuk organik yang bermanfaat, merubah kebiasaan dari sekedar brosing untuk suka-suka dirubah menjadi kegiatan bisnis yang bernilai, merubah produk open source menjadi produk yang bisa membantu banyak orang dan bisa digunakan dengan mudah sehingga menjadi bernilai dan laku dijual. Ternyata entrepreneurship-lah yang bisa menjadi solusi masalah pangan di Indonesia. Entrepreneurship yang dalam bahasa Indonesia sering disebut wirausaha inilah yang perlahan akan memberikan kontribusinya untuk menuju Indonesia yang mapan di bidang pangan, atau dengan kata lain Indonesia yang mencapai kedaulatan pangan.
Mengapa entrepreneurship yang penulis pilih?. Perlu diketahui bahwa jiwa kewirausahaan tak hanya memberikan “kemapanan hidup” untuk wirausahawan itu sendiri dan menolong mereka para pengangguran. Tetapi disamping itu juga menciptakan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Adanya entrepreneur juga memberikan peluang dalam pemanfaatan sumber daya alam bagi kemakmuran. Bukan modal asing. Menurut Sosiolog David McClelland  suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur sedikitnya 2% dari jumlah penduduk. Singapura sudah 7,2% padahal pada 2001 baru 2,1%. Sedangkan Indonesia hanya 0,18% dari penduduk atau 400.000-an orang. Itulah mengapa Indonesia tetap saja ketinggalan dengan negara tetangga.
Kesempatan untuk berwirausaha di bidang pangan di Indonesia masih terbuka lebar. Merekalah yang kreatif untuk membuat sesuatu yang baru harus mengembangkannya untuk kepentingan masyarakat. Berwirausaha di bidang pangan seyogyanya melihat pada kebutuhan akan penganekaragaman pangan. Masyarakat Indonesia khususnya lapisan bawah masih menempatkan beras sebagai konsumsi utama. Mereka yang sudah menganekaragamkan pangan masih terbatas pada masyarakat lapisan atas diperkirakan masih dibawah 25% dari penduduk Indonesia. Entrepreneurship juga berpeluang untuk mengembangkan potensi daerah seperti makanan tradisional berbahan baku bukan beras yang masih banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Sedikit penegasan, perlu diketahui bahwa beberapa perusahaan pangan berskala besar milik Indonesia sebagian besar sahamnya ada di tangan pihak asing. Sebagai contoh PT. Tirta Investama yang mengelola Aqua, sebesar 74% sahamnya adalah milik Danone(Prancis) dan PT. Sakura Aneka Food yang memproduksi Bango, 100% mutlak sahamnya sudah menjadi milik Unilever(UK). Memang miris melihat kenyataan ini. Sumber daya alam Indonesia yang menjadi milik sendiri justru yang menikmati keuntungannya adalah pihak asing. Indonesia seakan menjadi budak di rumah sendiri. Dibutuhkan komitmen yang kuat untuk mulai berwirausaha di bidang pangan serta adanya singkronisasi antara pemerintah dengan masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part I

CLIMB

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part II