Sebuah Keironisan

Mungkin itulah kata-kata yang dapat mewakili pikiran yang sedari tadi bercokol di otak saya. Ironis?... apanya yang ironis?. Pertanyaaan tersebut maklum anda lontarkan ketika membaca judul diatas. Dengan membaca lebih lanjut, anda akan mengerti maksud saya.

Hal pertama yang muncul dalam benak saya adalah beasiswa atau scholarship. Siapa anak yang tak ingin mendapatkan beasiswa? Kali ini saya khususkan tentang beasiswa dalam negri saya. Hampir tiga tahun lamanya saya berkesempatan mengenyam pendidikan di IC. Madrasah nomor 1 di Indonesia dimana banyak orang yang mendamba-dambakannya. Bukan cuma kualitas tapi juga karena biaya pendidikannya yang 0 rupiah. Bisa dibayangkan bukan? Sekolah yang bisa dibilang top 5 di jajaran SMA (data kaskus.us) memberikan beasiswa 100% bagi 100% siswa-siswi yang diterimanya. Siapa yang tidak mau?. Bagi kalangan marginal ke bawah, mungkin adanya kata 'beasiswa ' menjadi prioritas utama, tak dapat dipungkiri. Memdapat pendidikan berkualitas tinggi dengan modal pas-pasan adalah sesuatu yang sulit di zaman yang semakin edan ini.

Syukur pada-Mu Ya Alloh yang telah memberikan kesempatan kepada hamba. Ada rasa senang sehingga saya memang patut dan sudah seharusnya mensyukuri semua ini. Tapi disisi lain saya melihat kenyataan bahwa teman-teman satu bangsa di luar sana yang bisa dibilang memprihatinkan. Banyak teman-teman saya yang merasa kecewa karena tak dpat masuk IC. Maaf...sebenarnya saya bingung mau mengatakannya. Pendeknya, menurut saya masih banyak yang lebih berhak untuk menerima beasiswa seperti saya dibandingkan teman-teman satu angkatan saya disini. 

Dalam situasi dan kondisi lain, saya melihat bahwa banyak diantara mereka yang sebenarnya mampu secara finansial malah berburu Surat Keterangan Tidak Mampu dengan dalih ingin mendapatkan beasiswa. Tak sadarkah mereka bahwa yang demikian itu berarti sama saja dengan merampas hak orang lain? Sedangkan yang sebenarnya memang tidak mampu juga ikhtiar dengan segala keterbatasannya. Betapa ironisnya. Dalam sebuah buku saya pernah membaca salah satu cerita. Seorang gadis sebut saja A dengan semangatnya berusaha untuk mendapatkan beasiswa dari Universitasnya. Sebagai anak seorang yang mapan (saya lupa pekerjaan orang tuanya) dengan mudahnya ia mendapatkan berkas-berkas pengajuan beasiswa yang sebenarnya diperuntukan bukan untuk anak dengan kriteria seperti dia. Walhasil, beasiswa itu pun berhasil dimiliki gadis A itu. Dibelinya baju, celana dan barang apapun yang disukai dengan uang beasiswanay tersebut. Sedangkan disisi lain, di suatu pojok bernama kesedihan, tanpa ia ketahui seorang teman sedang berusaha menghibur sahabatnya.
P :”sudahlah...mungkin kita perlu usaha lebih. Alloh sedang menguji kesabaran kita”.
Q :”tapi sebenarnya kita berhak menerima beasiswa itu. Itu hak kita, kita membutuhkannya...”
P :”Istighfar An....biar entar aku pinjamin dulu buat bayar tagihan semerter lalu”

Itu hanya suatu contoh realita yang ada. Seorang teman lama saya belum lama ini berkontak dengan saya via facebook. Sebut saja namanya Doni (samaran).
Doni :''Ha, gimana caranya daftar kuliah biar dapat beasiswa bidik misi?. Aku bingung sekolahku kayaknya kurang respon gitu...”
saya pun menjelaskan segala sesuatu tentang bidik misi sejauh yang saya tahu. Memang beberapa teman saya di daerah perlu banyak informasi dan bantuan. Kondosi mereka yang belum bisa dikatakan cukup seharusnya membuat mereka berhak untuk mendapatkan bantuan biaya pendidikan, tapi kenyataan memang kadang-kadang berkata lain.
Satu minggu kemudian,
Doni :”Ha...aku bener-bener kecewa”
Saya :”Kenapa?”
Doni :”Aku ngga jadi ikut bidik misi, kayaknya sekolahku ada kesalahan dalam pengisian data. Aku kecewa”

Kasihan...sekedar untuk mendaftarpun ia gagal. mungkin di suatu tempat disebrang jawa masih akan banyak lagi kasus serupa. Mereka harus berpikir dan berjuang untuk dapat meneruskan sekolahnya. Di sisi lain, salah seorang teman saya yang saya anggap mampu dari segi ekonomi, kebutuhanya pun lebih terpenuhi daripada saya tanpoa saya duga dia bisa ikut mendaftar beasiswa bidik misi. Entah apa alasannya. Dengan santainya ia dapat melakukan semua itu. Miris ^ memang hidup di kota besar terkadang membuat hati seseorang kurang peka terhadap keadaan sesamanya yang kurang beruntung. Terbiasa dengan kehidupan kota sehingga memandang semuanya adalah seperti apa yang ia lihat di depan mata. Padahal Indonesia itu luas. Masih banyak di luar sana yang lebih membutuhkan uluran tangan. Sebenarnya apa dan siapa yang salah? Apa yang membuat keadaan keliru seperti ini?...
Ironis .

Negeri kita ini masih memerlukan banyak perbaikan. Mulai dari diri masing-masing , sekecil apapun yang kita pikirkan akan menjadi sumbangsih yang bermakna.

Komentar

  1. haha saya juga kadang-kadang merasa ada yang aneh dengan pola pikir ...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part I

CLIMB

Tangan Tuhan atau Tangan Tuan? part II