Covid-19 Journey: Kronologi, Gejala, Obat, dan Isolasi Mandiri
Akhirnya resmi menjadi satu dari sekian juta individu penyandang status positif Covid-19. Setelah satu setengah tahun lebih berhasil menghindar dari virus satu ini, tamu tidak diundang ini pun datang juga.
Kronologi
Saya bingung harus menuliskan kronologi seperti apa karena sumber penularan
saya tidak tertelusur. Bahkan lima hari sebelum gejala muncul, saya masih
sempat swab antigen dan menunjukkan hasil negatif. Pun setelah itu, saya tidak
kemana-mana selain membeli makan yang selalu dibungkus. Sabtu siang (sebelum
sorenya gejala demam muncul) saya memang sempat membeli makan dine in dengan kondisi tempat makan yang
sangat sepi dan ruang yang luas. Jika penularan terjadi disitu, maka si virus
ini hanya butuh inkubasi sekian jam sampai akhirnya membuat inangnya sakit.
Gejala
Gejala awal yang muncul adalah demam. Layaknya demam pada umumnya namun dalam
kasus saya diikuti dengan sakit kepala. Kondisi ini berlangsung sekitar 3-4
hari. Bahkan, pilek pun tidak meskipun sesekali hidung terasa mampet. Oya, mungkin
karena demam ini, lidah juga mulai kebal rasa. Mirip-mirip orang sakit pada
umumnya.
Alhamdulillah gejala-gejala tersebut reda dan sempat mikir saya langsung pulih
seutuhnya dari virus ini sebelum saya menyadari tenggorokan yang sakit. Lebih
ke sakit yang tidak biasanya. Sekedar buat minum pun butuh usaha sekali menahan
sakit. Ini salah satu gejala ter-ngga enak selain demam. Ok, masalah tenggorokan
ini perlahan teratasi dan pulih total sekitar hari ke-8 isolasi.
Rupanya, belum selesai sampai disitu gejala percovidan ini. Anosmia mulai menyerang dari yang awalnya hanya hidung sebelah saja (di hari awal-awal gejala) dan saya pikir sudah sembuh. Ternyata, di sekitar dari ke-7 atau 8, si bulbus olfaktori saya full tidak berfungsi. Di hari ke-13, penciuman ini baru normal kembali.
Obat dan vitamin
Menurut saya, untuk obat disesuaikan dengan gejala yang muncul. Hasil konsultasi dengan dokter pun demikian. Namun, tidak semudah itu mendapatkan obat yang sesuai resep. Beberapa kali saya kena php aplikasi telemedicine di mana pesenan obat tiba-tiba dicancel sepihak, padahal sudah diproses beberapa jam. Mungkin stok yang langka jadi penyebabnya. Bahkan dari pemesanan-pemesanan obat yang berhasil selama isolasi covid ini, pesanan saya diperoleh dan apotek di luar Jakarta (satu kali dari Bekasi dan satu kali dari Depok). Terima kasih buat driver yang bersedia jauh-jauh mengirim 1 atau beberapa kaplet obat. Berhubung tidak semua obat rekomendasi dokter bisa terbeli, salah seorang teman menyarankan alternatif obat lain dan beruntungnya obat ini berhasil terbeli.
Drama obat-obat selesai dan saya bingung dengan banyaknya multivitamin, baik yang beli sendiri maupun kiriman dari kantor dan beberapa teman. Otak awam saya menghawatirkan kerja keras ginjal kalua harus mengonsumsi banyak vitamin atau suplemen yang akhirnya harus diekskresikan juga. Akhirnya, saya catatlah kandungan masing-masing multivitamin itu dan mencoba membuat kombinasi yang pas agar total yang dikonsumsi tidak (terlalu) berlebihan.
Isolasi Mandiri
Isolasi di kost memang sepertinya pilihan terbaik sejauh ini. Terutama urusan kebutuhan printilan-printilan yang tidak harus repot-repot meminta perawat (kalau kasusnya karantina di wisma mungkin) atau membeli barang-barang tertentu yang sebetulnya tidak terlalu esensial. Hal yang menjadi titik berat dari isolasi di kost adalah kebiasaan-kebiasaan baru yang harus dengan sadar kita lakukan (karena tidak ada orang lain yang mengingatkan atau memerintahkan selain kesadaran kita pribadi), misalnya semprot apapun barang yang tersentuh dan memakai masker setiap keluar ruangan.
Hal penting lainnya adalah ada baiknya memonitor kondisi suhu dan saturasi secara berkala. Saya pribadi membuat catatan suhu, saturasi dan gejala yang muncul agar memudahkan mengetahui rekam jejak gejala dan tentunya memudahkan ketika konsultasi dengan dokter.
sumber: dok pribadi |
Support System
Hal terakhir yang tidak kalah penting adalah dukungan dari orang-orang terdekat. Saya miris ketika ada para pelaku isoman yang stress sampai akhirnya mengakhiri diri. Bahkan ada yang sampai gila (ok ini ekstrim tapi benar-benar ada). Bersyukur hidup di negara dengan budaya kebersamaan yang lekat. Terima kasih kepada orang tua dan semuanya atas dukungan dan doanya.
Ok, sekian pengalaman saya “berjumpa” dengan covid-19. Semoga dapat
memberikan gambaran bagi yang sedang mempersiapkan diri, sedang bertarung, atau
sedang merawat sejawat terkena covid.
Terima kasih
Salam Sehat!
Semoga lekas sembuh senior
BalasHapus