Seharian Eksplor Solo
Sebenarnya sudah beberapa kali mengunjungi kota ini, tetapi
kunjungan-kunjungan itu hanyalah bersifat transit. Transit mau tes kerja.
Transit mau ke Tawangmangu. Transit mau kondangan. Dan lain sebagainya. Pun
sebenarnya kunjungan kali ini ditujukan untuk kondangan salah satu teman dan
dengan memanfaatkan waktu luang yang ada, akhirnya terciptakan eksplor Solo
seharian yang akan saya coba tulis sedikit untuk saya sendiri dan kalian yang
mampir di blog ala kadarnya ini.
Sego Pecel Dong Adas
Sambel Tumpang
Karena malamnya saya menginap di rumah teman di Boyolali,
alhasil paginya pun saya diajak untuk mencicipi sarapan dengan menu khas Kota
Susu ini, yaitu nasi pecel dong adas
dengan sambel tumpang. Kalau sambal tumpang sebenarnya sudah tidak asing dan
lazim ada, terutama di Jawa Timur. Namun, yang menjadikan beda adalah adanya dong adas, jenis dedaunan yang mungkin
masih termasuk golongan herba karena ada cita rasa mint ketika masuk ke mulut. Bentuknya
lancip-lancip seperti jarum dan saya tidak tahu nama umumnya apa. Secara
pribadi saya kurang cocok dengan hidangan satu ini. Entahlah, saya belum
menemukan kecocokan dan kenikmatan perpaduan rasa pedas, sedikit asam, dan cita
rasa mint ini. Tapi, tetap senang rasanya bisa mencicipi kuliner daerah yang
memang jarang ditemukan di tempat lain.
Sego pecel dong adas sambal tumpang (dok. pribadi) |
De Tjolomadoe
Sebuah tempat wisata edukasi dan keluarga, lebih tepatnya
bekas pabrik gula. Seperti namanya, De Tjolomadoe terletak di Colomadu, sebuah
kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang semua wilayahnya berbatasan dengan
kabupaten Sukoharjo. Jadi, semacam satu sel yang berpisah jaringannya. Unik. Dan
ternyata hal ini juga ada di dunia internasional. Dalam bukunya (saya lupa
Titik Nol atau Garis Batas), Agustinus Wibowo menjelaskan dengan detail
wilayah-wilayah di negara-negara pecahan Uni Soviet seperti Kazakstan,
Turkmenistan dan Uzbekistan di mana terdapat daerah-daerah seperti Colomadu.
Jadi, untuk menuju negaranya sendiri, si penduduk harus melewati negara lain
dulu, baru kemudian masuk kembali ke negara sendiri. Nyebrang. Saya lupa
istilahnya apa.
Balik lagi ke De Tjolomadoe, saya dan teman sampai lokasi
sekitar jam 9 dan ternyata belum tempatnya belum buka. Baru buka pukul 10.00,
akhirnya kami sempatkan keliling di area luar gedung yang ternyata juga cukup
bagus untuk obyek foto. Gedung bekas pabrik gula ini lumayan besar dan luas. Di
dalamnya terdapat area kafe dan beberapa mesin bekas pengolahan tebu menjadi
gula. Saya sendiri jadi teringat kembali jaman kuliah ketika kunjungan industri
ke pabrik tebu di Jogja. Mesin-mesin seperti area penggilingan tebu, area
evaporasi dengan multiple effect
evaporator, mesin drum dyer, area
pemurnian, dan lain sebagainya.
De Tjolomadoe tampak samping (dok. pribadi) |
De Tjolomadoe (dok. pribadi) |
Lagi-lagi karena alokasi waktu yang terbatas, akhirnya kami
putuskan tidak masuk ke dalam gedung dan beralih menuju destinasi selanjutnya.
The Heritage Palace
Merupakan obyek wisata yang cukup baru di Sukoharjo. Letaknya
tidak jauh dengan de Tjolomadoe. Sama seperti De Tjolomadoe, tempat ini juga
bekas pabrik gula. Ada beberapa gedung yang bisa dinikmati oleh para pengunjung
dan bangunan-bangunan lainnya sepertinya masih dalam tahap renovasi. Saya juga
kurang tahu tentang sejarah gedung-gedung pabrik gula ini karena informasi
masih sangat minim. Menurut saya pribadi, The Heritage Palace ini lebih
menekankan ke wisata keluarga dengan menawarkan spot-spot foto bagus dibanding wisata
edukasi, berbeda dengan De Tjolomadoe yang membaurkan wisata edukasi di
dalamnya.
Namun di luar itu, The Heritage Palace memang menawarkan
pemandangan gedung tua ala Eropa yang epic. Bagunan-bangunan tua dengan warna
kusam malah memberikan kesan artistik dan enak dipandang. Selain itu, terdapat
pula mobil-mobil kuno yang bisa menambah ketertarikan wisatawan untuk berfoto.
The Heritage Palace (dok. pribadi) |
The Heritage Palace (dok. pribadi) |
Ada dua pilihan tiket untuk masuk ke tempat ini. Tiket
outdoor atau tiket outdoor dan indoor. Saya pilih tiket outdoor karena menurut
informasi si penjaga loket, bagian indoor merupakan area untuk foto tiga
dimensi, dan saya kurang tertarik.
Kalau boleh saran dan berkomentar, saya sebenarnya kurang
setuju dengan konsep wisata tempat ini di mana dari pengamatan saya lebih
mengedepankan rekreasi untuk foto-foto semata. Pun mengusung unsur-unsur barat
dengan patung-patung dan lainnya. Bahkan dari namanya saja sudah terlihat barat.
Menurut saya alahkan lebih baik mengembangkan budaya lokal dengan
sentuhan-sentuhan modern. Misalnya dengan informasi tentang pabrik gula dalam
ejaan tempo dulu atau apalah. Intinya yang membuat kita mempelajari sejarah.
Saya selalu iri dengan museum-museum di Negara Barat yang kuno namun
modern dan selalu ramai dikunjungi. Berbeda
dengan tempat wisata yang hanya sekedar ajang berswafoto.
Pusat Grosir Solo
(PGS)
Sesuai namanya, PGS menjadi tempat yang tepat untuk berburu
oleh-oleh batik karena hampir semuanya berjualan batik. Awalnya saya mau ke
Pasar Klewer yang lebih familiar bagi orang-orang daerah luar Solo seperti
saya, namun teman saya lebih merekomendasikan tempat ini. Pun konon Pasar
Klewer baru pasca relokasi akibat kebakaran tidak seramai Pasar Klewer yang
dulu.
Segala jenis batik ada disini. Sangat bervariasi, mulai dari
batik-batik murah meriah, batik dengan corak edisi terbatas yang agak mahal,
sampai batik yang lumayan mahal. Perbedaan harga itu tentunya berbanding lurus
dengan kualitas ya, baik dari segi jenis batik (batik cap, tulis, dsb), corak,
bahan, ukuran, dan kualitas jahitan. Sebagai pembeli, memang perlu jeli dan
teliti.
PGS ini lumayan nyaman untuk berwisata belanja. Seperti Pasar
Beringharjo namun dengan bangunan yang lebih modern. Pun dengan keramahan khas
Solo yang diberikan para penjaja batik. Dari segi harga pun kata teman saya
lumayan murah dibanding di tempat-tempat lain. Dan enak lagi, PGS lumayan
berada di pusat kota sehingga akses transportasinya pun mudah.
Gedung Djoeang 45
Letaknya berdekatan dengan PGS sehingga kami pun hanya
berjalan kaki untuk sampai di obyek wisata ini. Gedung Djoeang 45 menjadi
wisata heritage kesekian di Solo yang
belum lama diresmikan. Berupa bagunan dengan corak khas masa-masa kolonial
Belanda. Jendela-jendela besar yang simetris, patung-patung, dan halaman berupa
taman yang tertata apik. Tempat ini pun sepertinya masih dalam proses
pengerjaan atau renovasi.
Gedung Djoeang 45 (dok. pribadi) |
Bagian dalam Gedung Djoeang 45 (dok. pribadi) |
Sayangnya kami tidak bisa masuk ke dalam karena ternyata
tempat wisata ini baru dibuka pukul 17.00. Akhirnya kami harus puas dengan
hanya berkeliling di halaman depan gedung. Yang saya baca di kompas.com, gedung ini merupakan bagian dari
fasilitas untuk keperluan orang-orang Belanda di era penjajahan. Bahkan gedung
ini telah beberapa kali beralih fungsi, misalnya sebagai kantin pada
pertengahan abad 19 dan sebagai asrama pada awal abad 20. Sekarang, Gedung
Djoeang 45 berstatus sebagai cagar budaya sehingga untuk renovasinya pun perlu
diperhatikan dan tidak boleh sembarangan.
Sate Buntel Pak Manto
Kami adalah korban channel youtube Ji Sun, wkwk. Seorang
youtuber korea yang sering menyajikan konten-konten kuliner Indonesia, yang salah
satunya adalah Sate Buntel Solo. Yang ternyata memang sangat recommended untuk pada wisatawan
kuliner.
Sebenarnya ada beberapa warung sate buntel di Solo, namun
ketika saya googling, sate buntel pak Manto berada di urutan teratas dengan
review atau ulasan terbanyak. Dan jaraknya pun ternyata tidak terlalu jauh
dengan Gedung Djoeang 45 sehingga akhirnya kami memutuskan menikmati kuliner
ini di warung tersebut.
Warung sate buntel satu ini lumayan luas sehingga kami bisa
langsung mendapatkan tempat duduk meskipun sedang jam makan siang pas weekend. Sate
dan aneka olahan kambing lainnya dimasak di dapur di area depan sehingga
pembeli dapat langsung melihat proses membakaran dan pemasakan si daging-daging
kambing malang yang siap memuaskan para penikmatnya.
Sate Buntel Solo (dok. pribadi) |
Tongseng kambing (dok.pribadi) |
Menu utama disini tentu saja sate buntel dan rica-rica
kambing. Ada pula pilihan menu lainnya yaitu tongseng, tengkleng dan sate
kambing. Kami memesan seporsi sate buntel dan tongseng untuk dimakan bersama. Dan
kami beruntung karena sepertinya seporsi sate buntel tidak akan habis jika
dimakan sendiri. Benar apa kata Ji Sun dalam youtubenya yaitu satu tusuk sate
buntel untuk satu porsi nasi, sehingga memberikan rasa kenyang yang lumayan
karena alih-alih berhenti makan setelah seporsi nasi habis, yang dilakukan
adalah menambah porsi lagi hehe.
Berbeda dengan sate pada umumnya, sate buntel sendiri dibuat
dengan melembutkan daging kambing (entah dicacah atau digiling) dan
melekatkannya dalam tusuk sate layaknya sate lilit Bali, kemudian membungkusnya
dengan lemak sehingga si gumpalan daging tetap kokoh. Bisa dibayangkan kan,
perpaduan citarasa lembutnya daging kambing dengan gurihnya lemak dan sambal
kecap yang manis pedas ditambah aroma khas daging bakar menghasilkan sensari
rasa yang lezat di mulut. Salah satu sate ter-enak yang pernah kami coba. Teman
saya sampai memberi skor kuliner ini 9,7 atau hampir sempurna. Mungkin sedikit
ketidaksempurnaannya adalah karena kandungan kolesterolnya hehe. Sepertinya,
kuliner ini bakal menjadi agenda wajib yang perlu disempatkan kalau sedang ke
Solo.
Pasar Gede
Oleh-oleh batik sudah terbeli di PGS. Saatnya berburu
oleh-oleh berupa makanan. Awalnya berencana ke Serabi Notosuman, namun takut
tidak enak ketika dibawa terlalu lama di perjalanan, akhirnya kami memutuskan
ke Pasar Gede. Keputusan yang agak random karena sebenarnya kami bingung pusat
oleh-oleh yang mana yang harus kami kunjungi untuk sekedar membeli camilan khas
tempo dulu. Meskipun tidak punya ekspektasi apa-apa tentang Pasar Gede,
akhirnya kami coba kesana.
Pasar Gede Solo (solopos.com) |
Pasar Gede Solo tampak depan (surakartadaily.com) |
Dan ternyata Pasar Gede sama sekali tidak mengecewakan. Selain
memang banyak tersedia jajanan tempo dulu seperti enting-enting, brem, wedang
uwuh, dan lain sebagainya, pasar ini juga menyuguhkan pengalaman wisata tempo
dulu. Pasarnya pun bersih dengan gaya bangunan pasar yang masih mempertahankan
kesan tradisional meskipun terletak di tengah kota. Belanja disini pun lumayan
terjangkau, atau mungkin lebih murah dibanding belanja di toko pusat oleh-oleh.
Saya berpikir, sekilas layout atau
tata letak di dalam pasar ini sedikit mirip dengan Pasar Legi Kotagede di Jogja
di mana di antara lapak-lapak penjual makanan, sayur atau baju, di tengahnya
terdapat barisan penjual yang menjajakan aneka makanan, baik kudapan, makanan
siap santap, maupun makanan kering. Ah, jadi teringat masa-masa jadi freelance survei dulu wkwk.
Sekian tulisan saya kali ini. Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar